tirto.id - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memiliki gaya kepemimpinan yang unik dan dekat dengan masyarakat. Dedi dikenal dengan pendekatan hands-on - langsung turun ke lapangan untuk menyelesaikan masalah. Gaya ini dianggap tidak hanya memberikan solusi cepat, tetapi juga membangun citra pemimpin yang mengakar di masyarakat.
Gaya kepemimpinan turun langsung ke lapangan, menjadi ciri khas yang dikenalkan Joko Widodo (Jokowi) selama menjadi Gubernur DKI Jakarta saat itu. Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang tidak hanya berdiri di belakang meja, tetapi juga hadir atau blusukan di tengah-tengah masyarakat untuk melihat secara langsung kondisi lapangan yang terjadi.
Dedi Mulyadi mengadopsi cara ini, seolah berusaha membangun citra pemimpin yang tidak hanya berbicara di podium, tetapi juga turun ke akar rumput untuk memastikan kebijakan dapat berjalan dengan baik. Harapannya tentu saja dapat menginspirasi lebih banyak pemimpin lainnya untuk lebih dekat dengan rakyat dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi mereka, baik di tingkat provinsi maupun daerah.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat bahwa gaya atau style kepemimpinan yang ditunjukkan Dedi Mulyadi memang mengingatkan publik akan Jokowi. Gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi sangat visual alias menampilkan simbol-simbol.
"Sama seperti Jokowi, Dedi Mulyadi tidak banyak pidato tapi memilih menunjukkannya melalui aksi turun ke lapangan," kata Musfi kepada Tirto, Selasa (11/3/2025).
Dulu Jokowi viral dengan aksinya turun ke gorong-gorong. Salah satu aksi Jokowi turun ke gorong-gorong yang menghebohkan masyarakat terjadi pada akhir 2012. Saat itu Jokowi meninjau gorong-gorong di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat yang disinyalir menjadi penyebab banjir.
Dedi Mulyadi pun seolah merepresentasikan Jokowi. Ia viral dengan aksinya turun membersihkan sungai yang kotor baru-baru ini. Dalam video unggahan di akun Instagram miliknya, Dedi Mulyadi tampak ikut turun langsung ke dalam sungai memungut sampah yang tersangkut di dasar sungai.
Dedi Mulyadi
Ia merelakan diri ikut masuk ke dalam kolong mengambil sampah yang menjadi penyebab aliran air mampet. Dedi bahkan tak merasa risih dan memberanikan diri kotor-kotoran di tengah sampah demi bisa membuat aliran sungai kembali lancar.
"Bisa dikatakan Dedi adalah Jokowi 2.0, tapi perbedaannya terletak di bahasa. Jokowi berbahasa Jawa, sedangkan Dedi berbahasa Sunda," kata Musfi.
Meski apa dilakukan Dedi Mulyadi bermaksud baik, tapi menjadi masalah saat ini adalah terjadi kejenuhan kolektif terhadap gaya kepemimpinan ala Jokowi. Publik saat ini menaruh curiga terhadap gaya kepemimpinan visual atau simbol-simbol ala Jokowi.
Kejenuhan kolektif itu yang membuat Dedi Mulyadi justru mendapatkan sentimen negatif atas aksinya, seperti ketika turun membersihkan sungai yang kotor. Apalagi, ada kesan Dedi Mulyadi terlalu bermain drama, ketika menangis menyaksikan kerusakan akibat alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.
"Kalau Dedi menangis terhadap fenomena yang sifatnya insidental, seperti kasus Vina Cirebon, itu sangat tepat. Tapi menangis saat di Puncak, Bogor ini kan yang membuat publik menilai Dedi sedang bermain drama," ujar Musfi.
Musfi menilai bahwa Dedi Mulyadi terlalu bersemangat karena terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat, sehingga terburu-buru ingin membuat banyak simbol dan legasi kepemimpinannya. Padahal jika melihat perjalanan ia ke belakang, Dedi Mulyadi bisa dibilang tipe politisi yang membangun branding politiknya dengan metode lari maraton, dan bukannya lari sprin.
"Dedi membangunnya dalam bertahun-tahun, bukan dalam waktu singkat selama enam bulan seperti kebanyakan politisi," imbuh dia.
Bertolak dari perjalanan itu, seharusnya Dedi Mulyadi lebih bijak dan peka terhadap sentimen publik. Dedi perlu mencari momen-momen krusial, seperti kasus Vina Cirebon untuk menunjukkan gaya kepemimpinannya yang sangat visual. Jika momennya tidak tepat, yang terjadi justru Dedi akan mendapatkan sentimen negatif atas aksinya seperti saat ini.
Merusak Tatanan Birokrasi?
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, berpandangan bahwa gaya kepemimpinan personal Dedi Mulyadi memang cukup dilematis. Satu sisi tidak keliru dan memang bisa timbulkan simpati publik. Tetapi sisi lain berisiko merusak tatanan birokrasi sistem tata kelola pemerintahan jika keputusan dan gaya kepemimpinannya personal, bukan berdasarkan sistem.
Sebagai contoh, Dedi Mulyadi sempat mengusulkan untuk mengganti rugi biaya investor tempat wisata yakni Hibisc, di Puncak Bogor yang dihancurkan pemerintah. Padahal tempat wisata tersebut secara prosedur birokrasinya sudah dijalankan dan akan menjadi masalah jika kemudian harus mengganti kerugian investor yang nilainya mencapai Rp40 miliar.
"Ini bisa bermasalah karena Dedi Mulyadi menganggap uang pemerintah sebagai uangnya yang bisa ia gunakan tanpa prosedur," kata Dedi Kurnia kepada Tirto, Selasa (11/3/2025).
Dengan gaya Dedi Mulyadi ini, dikhawatirkan Jawa Barat mengalami nasib serupa dengan Purwakarta, yakni dipimpin secara sporadis, tanpa konsep, dan tentu tanpa kematangan visi. Bisa dilihat, kata Dedi Kurnia, Purwakarta yang sempat dipimpin Dedi Mulyadi 15 tahun, pembangunan sumber daya manusia tidak tersentuh, pun infrastruktur yang tidak merata.
"Tetapi populismenya seolah ia berhasil. Ini mengkhawatirkan," tukas dia.
Terlepas dari hal di atas, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, justru menilai Dedi Mulyadi sejatinya ingin menunjukkan dirinya adalah sebagai pemimpin yang serius bekerja untuk kepentingan warga di Jawa Barat. Jadi secara instrumen dan kemampuan manuver dilakukan itu harus maksimal sebagai pembuktian bahwa ia adalah gubernur sesuai dengan harapan.
Gubernur Jawa Barat terpilih Dedi Mulyadi (tengah) berjalan keluar ruangan usai menjalani tes kesehatan dan pengambilan tanda pangkat di Kantor Kemendagri, Jakarta, Minggu (16/2/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/YU
Maka tidak mengherankan, kata Adi, setelah pelantikan dan kemudian ada retret kepala daerah, Dedi Mulyadi, langsung gas poll melakukan sidak sana-sini. Bahkan ketika ada banjir besar kiriman sampai ke Bekasi dan Jakarta dia bergerak cepat.
"Ini menunjukkan bahwa Dedi Mulyadi ini adalah pemimpin yang bisa bekerja bukan omon-omon. Itu adalah tren politik yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia," kata Adi kepada Tirto, Selasa (11/3/2025).
Apa dilakukan Dedi Mulyadi, lanjut Adi, menegaskan ia adalah sosok yang memang cukup bersahaja dan pro dengan rakyat. Jadi tidak mengherankan ketika Dedi Mulyadi, blusukan dan turun ke gorong-gorong ikut membersihkan banjir dan kemudian viral.
Sebab cara komunikasi politik yang ingin disampaikan Dedi Mulyadi adalah sebagai pejabat publik, ia rela kotor-kotoran untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan persoalan yang dihadapi. Salah satunya persoalan banjir.
"Jadi keinginan Dedi menunjukkan dirinya ke orang dengan suka ke bawah langsung ketemu masyarakat dan berdialog ke masyarakat itu adalah bagian dari pembuktian bahwa Dedi ingin terlihat sebagai pemimpin Gubernur Jawa Barat yang sangat pro dengan rakyat," jelas dia.
Meskipun harus diakui juga banyak publik mengkritik terkesan show off karena segala hal dilakukan Dedi Mulyadi itu seakan menjadi konten untuk kepentingan ekspose dan kepentingan pemberitaan dan medsosnya saja. Tapi, sepanjang untuk kepentingan rakyat bisa bekerja dengan cepat menurutnya tidak masalah.
"Emang pemimpin itu butuh pencitraan butuh eksposure pemberitaan. Tapi paling penting sepanjang pemberitaan positif pemberitaan serius bekerja untuk rakyat saya kira itu adalah salah satu hal bagus," jelas dia.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang