tirto.id - Gagasan mengenai keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance) mungkin terkesan seperti barang baru. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dalam beberapa tahun belakangan, work-life balance pun secara otomatis masuk ke dalam perbincangan. Namun, sebetulnya konsep tersebut sudah eksis setidaknya sejak dekade 1980-an.
Menurut artikel jurnal Colon and Rectal Surgery (2014), gagasan work-life balance diusung pertama kali oleh kelompok feminis Barat, Women's Liberation Movement (WLM). Sejak itu, konsep work-life balance pun mulai masuk dalam perbincangan dunia kerja hingga akhirnya raksasa komputer IBM pun mengambil inisiatif revolusioner. IBM, pada dekade 1980-an itu, sudah memperkenalkan remote working.
Tujuan dari kebijakan tersebut adalah mengurangi tingkat stres serta meningkatkan kesejahteraan pekerja secara keseluruhan. Harapannya, dengan pekerja yang bahagia, produktivitas akan meningkat dan perusahaan pun pada akhirnya jadi pihak yang diuntungkan pula. Namun, kebijakan seperti ini ternyata masih meninggalkan residu yang tak menyenangkan. Sebab, tak jarang, remote working justru membuat batas antara work dan life jadi makin kabur.
Kerja Fleksibel: Ekspektasi vs Realitas
Bekerja dari rumah, di atas kertas, memberikan banyak keuntungan bagi pekerja. Hilangnya keharusan untuk commuting bisa membuat jam tidur mereka jadi lebih panjang dan tentu membuat mereka lebih sehat. Selain itu, dengan berada di rumah, pekerja bisa mengatur rutinitas harian sesuai kebutuhan. Dari sana, mereka bisa menghabiskan waktu lebih banyak untuk diri sendiri dan keluarga serta terhindar dari operasional kantor yang kaku.
Di sisi lain, perusahaan bisa mendapat untung secara finansial dengan memberlakukan remote working. Biaya operasional kantor untuk listrik dan air, misalnya, dapat ditekan secara drastis. Dengan kata lain, semestinya remote atau hybrid working dapat disebut sebagai win-win solution. Namun, kenyataan memang tak selalu seindah yang ada di angan-angan.
Praktiknya, remote working (yang tidak dieksekusi dengan benar) justru membuat pekerja jadi makin terkekang. Contoh paling gampangnya, dengan bekerja dari rumah, seorang pekerja dianggap akan selalu memiliki akses terhadap alat-alat kerjanya. Ini akan membuat mereka justru sering kali dipaksa bekerja di luar jam kerja.
Pesan yang masuk pukul 10 malam, misalnya, harus langsung direspons karena alat kerja selalu ada dalam jangkauan si karyawan. Alat-alat yang awalnya dirancang untuk mempermudah pekerjaan, seperti Slack, Zoom, dan Microsoft Teams, malah menciptakan budaya "selalu on" yang melelahkan.
Tanpa batasan yang jelas, banyak pekerja merasa tertekan untuk selalu siaga setiap saat. Surel, pesan Slack, dan rapat virtual, tidak berhenti begitu saja setelah jam kerja usai. Beberapa karyawan bahkan merasa bersalah jika tidak segera merespons lantaran takut dianggap kurang berdedikasi atau tidak produktif.
Budaya "selalu on" ini makin diperparah oleh lingkungan kerja global dan perbedaan zona waktu. Karyawan yang bekerja dengan tim di berbagai negara mungkin harus menghadiri rapat larut malam, dini hari, atau pagi buta. Kemudahan alat komunikasi digital, alih-alih membebaskan pekerja dari jadwal kerja yang kaku, justru meningkatkan ekspektasi akan ketersediaan mereka sepanjang waktu.
Selain itu, tidak adanya jam kerja yang jelas berpotensi memunculkan fenomena yang disebut schedule creep, yaitu perpanjangan waktu kerja secara bertahap hingga ke malam hari dan akhir pekan. Buruh yang sebelumnya memiliki waktu istirahat yang jelas, kini harus menjawab pertanyaan pekerjaan bahkan di luar jam kerja
Masalah lain yang muncul adalah digital presenteeism, yaitu tekanan untuk selalu terlihat aktif dan responsif di platform komunikasi, meskipun sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Banyak pekerja jarak jauh merasa harus terus online agar tidak dianggap kurang berkontribusi. Hal ini tentu bakal menambah stres dan meningkatkan budaya kerja yang lebih berorientasi pada aktivitas agar terlihat sibuk, alih-alih produktivitas sesungguhnya.
Fakta Suram Kerja Fleksibel
Banyak studi membuktikan, meskipun kerja jarak jauh dan hibrida makin populer, jumlah jam kerja karyawan tidaklah berkurang. Bahkan, beberapa laporan menyebutkan bahwa jam kerja mereka justru bertambah.
Sebuah studi dari Microsoft, misalnya, menemukan bahwa remote working meningkatkan kelelahan digital. Banyak pekerja menghabiskan lebih banyak waktu dalam rapat virtual dan merespons pesan di luar jam kerja. Sementara itu, penelitian dari National Bureau of Economic Research mengungkapkan, rata-rata hari kerja menjadi lebih panjang hampir satu jam sejak peralihan ke kerja jarak jauh.
Survei yang dilakukan oleh Owl Labs menemukan bahwa 55 persen pekerja remote melaporkan bekerja lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Asumsi bahwa kerja jarak jauh akan membawa keseimbangan yang lebih baik ternyata tidak sepenuhnya terbukti.
Masalah ini sebenarnya bukan hal baru. Konsep keseimbangan hidup dan kerja mulai populer pada tahun 1980-an dan 1990-an, ketika beberapa perusahaan mulai menerapkan kerja fleksibel sebagai upaya mengurangi waktu perjalanan dan meningkatkan kepuasan kerja. Namun, seperti sekarang, inisiatif tersebut tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan.
Dampak Psikologis dari Kerja Fleksibel
Meskipun sistem kerja fleksibel memiliki manfaat, ada juga dampak negatif yang cukup signifikan. Kesulitan dalam memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi dapat menyebabkan kelelahan, kecemasan, dan peningkatan stres. Tanpa batasan yang jelas, banyak pekerja sulit benar-benar beristirahat, bahkan saat mereka sedang tidak bekerja secara formal.
Kurangnya interaksi langsung juga dapat menimbulkan perasaan terisolasi. Model kerja hybrid memang dirancang untuk mengatasi hal ini dengan menghadirkan karyawan ke kantor sesekali, tetapi hal itu tidak selalu cukup untuk menggantikan interaksi spontan yang biasanya terjadi di kantor konvensional. Beberapa pekerja bahkan merasa lebih terputus dari rekan kerja dibandingkan sebelumnya.
Penelitian yang terbit di jurnal Workplace Health & Safety (2023)menunjukkan, interaksi sosial di tempat kerja berperan penting bagi kesejahteraan mental karyawan. Obrolan santai sembari ngopi, sesi brainstorming dadakan, dan sekadar bertemu rekan kerja secara langsung, dapat menciptakan rasa kebersamaan. Tanpa interaksi ini, banyak pekerja jarak jauh yang merasa kesepian dan terasing dari tim mereka.
Work Life Balance. foto/istockphoto
Masih Mungkinkah Work-Life Balance Dicapai?
Menariknya, meskipun remote working masih menyimpan banyak kekurangan, survei dari Gallup menunjukkan bahwa banyak pekerja masih lebih memilih kerja jarak jauh dibandingkan harus ke kantor. Fleksibilitas dalam mengatur waktu kerja dan mengurangi waktu perjalanan tetap menjadi alasan utama sistem ini masih diminati oleh banyak orang.
Artinya, menerapkan sistem kerja fleksibel saja belumlah cukup karena itu baru setengah jalan. Untuk mencapai work-life balance yang sesungguhnya, kebijakan ini mesti dibarengi dengan perubahan budaya kerja itu sendiri.
Perusahaan perlu secara aktif mencegah kebiasaan kerja berlebihan dan menetapkan ekspektasi yang jelas tentang jam kerja. Para pemimpin juga harus menjadi contoh dengan menunjukkan bahwa setelah jam kerja berakhir, ya, semestinya sudah tidak ada tuntutan apa-apa lagi kepada karyawan, terkecuali di situasi yang benar-benar genting.
Bagi pekerja, menetapkan batasan pribadi sangatlah penting. Membuat ruang kerja khusus di rumah, menetapkan jam kerja yang jelas, dan menahan diri untuk tidak selalu mengecek surel, dapat membantu menjaga keseimbangan. Beberapa perusahaan mulai menerapkan kebijakan terkait hak untuk offline (right to disconnect), yang mendorong karyawan untuk tidak merespons komunikasi pekerjaan di luar jam kerja.
Beberapa negara mulai menyadari risiko dari budaya "selalu on" ini dan mengambil langkah untuk mengatasinya. Bahkan, di Portugal, mengirim pesan mengenai pekerjaan di luar jam kantor adalah perbuatan melanggar hukum.
Dengan demikian, meskipun masih sulit dicapai bagi banyak orang, work-life balance bukanlah sesuatu yang mustahil. Perlu iktikad baik dari semua pihak yang, bila perlu, dijadikan regulasi resmi seperti di Portugal dan negara-negara maju lainnya. Hanya dengan begitulah kita bisa benar-benar mencapai keseimbangan hakiki antara bekerja dan menjalani kehidupan pribadi.
tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin