tirto.id - Diskusi bertajuk "Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer Bagi Kebebasan Akademik" yang dilakukan oleh Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) bersama Forum Teori dan Praktik Sosial (FTPS) di samping Auditorium 2 Kampus III Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah (Jateng), pada Senin (14/04/2025), disusupi orang tak dikenal yang diduga merupakan personel intel dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kejanggalan sudah terasa saat diskusi baru dimulai ketika ada pria bertubuh agak gempal yang tampak asing di mata peserta diskusi lainnya. Pria yang mengenakan kaus hitam dan celana jeans itu tiba-tiba duduk di forum diskusi lesehan. Pria tersebut enggan memperkenalkan identitasnya sebagaimana peserta lain. Dia kemudian pergi meninggalkan ruang diskusi.
"Pas dia diajak kenalan, enggak mau," kata Panitia diskusi, Ryan Wisnal, Selasa (15/4/2025).
Tak berselang lama, petugas keamanan kampus datang dan mengarahkan beberapa mahasiswa untuk menemui seseorang berseragam TNI. Pria berseragam yang belakangan diketahui bernama Sertu Rokiman, menghendaki untuk berbicara dengan perwakilan panitia diskusi. Mereka mengobrol di dalam kampus, hanya berjarak beberapa meter dari lokasi diskusi.
"Orang yang ini datang memakai seragam militer," imbuh Wisnal.
Anggota TNI itu disebut sempat menanyakan identitas peserta diskusi dan tema diskusi yang sedang dibahas hari itu. Meski tidak terjadi pembubaran secara fisik, Wisnal menyatakan, kehadiran aparat berseragam ke ruang diskusi akademik menjadi perhatian serius. Kehadirannya dapat dipandang sebagai bentuk intervensi.
Kehadiran TNI di kampus ini juga bukan kali pertama. Pada awal Maret 2025, sebelum disahkannya Revisi Undang-Undang TNI, puluhan seragam loreng secara terang-terangan datangi kampus Universitas Udayana (Unud). Kedatangan mereka untuk menjalin kerja sama antara TNI AD Komando Daerah Militer IX/Udayana dengan pihak Unud. Kerja sama itu tertuang dalam dokumen perjanjian Nomor B/2134/UN14.IV/HK.07.00/2025 yang ditandatangani pada Rabu, (5/3/2025).
"Kami menyadari bahwa dunia pendidikan tidak dapat berjalan sendiri, melainkan harus bersinergi dengan berbagai pihak, termasuk institusi pertahanan seperti Kodam IX/Udayana. Kerja sama yang kita jalin hari ini bertujuan untuk memperkuat sinergi di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi," ungkap Rektor Unud, I Ketut Sudarsana, dalam sambutannya.
Sidang akbar dan dialog antara pihak rektorat dan mahasiswa Universitas Udayana mengenai perjanjian kerja sama antara Universitas Udayana dan Kodam IX/Udayana. Tirto.id/Sandra Gisela
Dalam salinan perjanjian diterima Tirto, ada beberapa klausul yang diatur dalam dokumen yang terdiri dari 20 Pasal tersebut. Pasal 2 menyebutkan ada enam ruang lingkup kerja sama antara Universitas Udayana dan Kodam IX/Udayana. Mulai dari peningkatan sumber daya manusia, pertukaran data dan informasi, hingga pelatihan bela negara.
Sedangkan pasal 4 Ayat 3 menyebutkan bahwa Kodam IX/Udayana dapat mengirim prajurit aktif untuk mengikuti perkuliahan di Universitas Udayana mulai dari strata satu (S-1) hingga strata tiga (S-3). Selain prajurit aktif, keluarga besar dari jajaran Kodam IX/Udayana juga dimungkinkan untuk menjalani perkuliahan.
“Pihak kedua (Kodam IX/Udayana) menetapkan dan mengirimkan peserta untuk mengikuti program pendidikan S1, S2, dan S3 yang berasal dari prajurit aktif Kodam IX/Udayana dan Keluarga Besar TNI AD di jajaran Kodam IX/Udayana,” bunyi klausul tersebut.
Dalam Pasal 7 dokumen perjanjian kerja sama juga diatur soal pertukaran data informasi. Klausul ini memungkinkan Kodam IX/Udayana untuk meminta dan mendapatkan data penerimaan mahasiswa baru. “Pertukaran data dan informasi yang dapat dilakukan adalah rekruitmen PAPK (perwira prajurit karier TNI) dan penerimaan mahasiswa baru,” bunyi isi perjanjian tersebut.
Poin terakhir yang menjadi sorotan dalam perjanjian tersebut adalah pelatihan bela negara dan pembinaan teritorial yang dilakukan oleh Kodam IX/Udayana di Udayana. “Pihak Kedua (Kodam IX/Udayana) melaksanakan penguatan pembinaan teritorial dengan pemanfaatan sarana dan prasarana, memberikan pelatihan bela negara bagi mahasiswa,” bunyi pasal 8 ayat 2 perjanjian tersebut.
Namun, masuknya TNI ke dalam kampus tersebut tidak bisa dibaca sekadar kunjungan biasa. Ini adalah simbol masuknya logika militer ke dalam ruang sipil yang seharusnya dijaga netral dan bebas dari intervensi kekuasaan. Kampus yang selama ini menjadi benteng intelektual dan ruang dialektika kritis terhadap kekuasaan, berisiko berubah menjadi ruang yang tunduk pada logika disiplin dan komando militer.
Ancaman terhadap Kebebasan Akademik dan Demokrasi
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, melihat fenomena ini terjadi pasca revisi Undang-Undang TNI. TNI kini merasa di atas angin dan bisa melakukan apa saja mulai dari mengintervensi jalannya pemerintahan daerah, campur tangan terhadap semua program pemerintah, mulai dari makan bergizi gratis, food estate dan lain sebagainya
“Jadi benar momentum TNI merasa di atas angin itu pasca revisi undang-undang TNI,” ujar pria yang akrab disapa Castro kepada Tirto, Kamis (17/4/2025).
Castro mengatakan, jika kemudian ke depan menemukan banyak kejadian membuka ruang di kampus dengan cara perjanjian kerja sama termasuk yang dilakukan di Universitas Udayana, itu adalah upaya-upaya untuk mendobrak dan masuk ke dalam dengan mengintervensi kampus. Padahal jelas tidak ada kepentingan militer masuk ke dalam aktivitas atau kegiatan sipil termasuk dunia kampus.
“Kalau kemudian militer terlampau jauh masuk ke dalam kampus, artinya ada ancaman besar terhadap kebebasan akademik ruang kita untuk berbicara, menyampaikan pendapat, kritik protes apalagi terhadap kebijakan pemerintah. Itu akan semakin terbelenggu dengan keberadaan militer ke dalam kampus,” jelas Castro.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), Muhamad Isnur, menilai bahwa masuknya TNI ke kampus jelas menyalahi semangat prinsip Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Sisdiknas yang menjamin kebebasan akademik.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta UU Sisdiknas telah menjamin kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Ketiga prinsip ini tidak akan bisa tumbuh jika ada kehadiran institusi bersenjata yang membawa simbol-simbol kekuasaan dan represi.
Secara historis bahkan kampus adalah ruang otonom bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan kritik terhadap kekuasaan. Masuknya institusi militer, yang secara struktur bersifat hierarkis dan koersif, jelas bertentangan dengan semangat ini.
“Kedatangan tentara ke kampus bagi mahasiswa adalah tindakan teror dan tindakan mengganggu. Ini tindakan yang melanggar kebebasan akademik, kebebasan kampus,” jelas Isnur kepada Tirto, Kamis (17/4/2025).
Aksi Tolak Revisi UU TNI di Surabaya Berakhir Ricuh, 25 Massa Aksi Ditangkap. Foto/ Muhammad Akbar Darojat Restu Putra
Pengamat Pendidikan, Ubaid Matraji, mengamini bahwa kehadiran TNI di kampus adalah bentuk teror, intimidasi, dan juga overreach (pelampauan kewenangan) yang berpotensi mengancam mimbar kebebasan akademik di kampus. Masyarakat perlu kritis terhadap normalisasi militerisasi ruang sipil, sekaligus mendorong transparansi dan akuntabilitas dari semua pihak.
Kehadiran TNI di kampus tanpa alasan yang jelas (misalnya: investigasi kriminal, ancaman terorisme, atau permintaan rektorat) berpotensi melanggar prinsip ini dan menciptakan preseden berbahaya. Jika alasan kedatangannya tidak transparan, ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi politik yang mengikis independensi kampus sebagai ruang kritik dan pengetahuan.
Tidak hanya itu, kehadiran seragam militer di kampus, apalagi tanpa dialog terbuka, berpotensi menciptakan chilling effect: mahasiswa/dosen mungkin merasa diawasi, sehingga mengurangi keberanian untuk berekspresi atau mengkritik kebijakan publik.
“Maka, dalam hal ini, kampus harus menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, termasuk mengkaji isu sensitif seperti HAM, kebijakan pemerintah, atau peran militer dalam sejarah Indonesia,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (17/4/2025).
Indonesia sendiri punya sejarah panjang keterlibatan militer dalam urusan sipil, termasuk pendidikan. Pada era Orde Baru, kampus sempat dijadikan target kontrol militer melalui operasi intelijen dan pembatasan aktivitas organisasi mahasiswa. Trauma kolektif itu kini masih membekas, sehingga jangan sampai membuka kembali pintu kampus untuk militer.
Bentuk Pelanggaran Serius
Menurut YLBHI, jelas ini menyalahi mandat dan tugas pokok fungsi tentara yang di dalam konstitusi Undang-Undang Pertahanan dan Undang-Undang TNI. Tugas tentara, kata Isnur, adalah urusan pertahanan. Tentara adalah orang dilatih dididik untuk urusan pertahanan, sehingga tidak bisa masuk ke ruang-ruang akademisi.
“Jelas sekali ini adalah bentuk pelanggaran hukum, ini adalah tindakan yang mengangkangi konstitusi UU TNI,” kata dia.
“Jadi mereka kesatuannya dan komandannya perlu diberikan sanksi antara tidak boleh mengurusi memantau apalagi merasa sebagai petugas keamanan yang mengatakan petugas Babinsa,” pungkas Isnur.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, mengatakan kedatangan dan intimidasi aparat berseragam dalam sebuah diskusi akademik di lingkungan kampus memang merupakan pelanggaran yang serius terhadap hak untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat secara damai. Terlebih lagi kampus adalah zona netral yang harus bebas dari intervensi negara baik pemerintah maupun aparat keamanan dan pertahanan seperti TNI.
TNI sebagai institusi harus menginvestigasi tindakan anggotanya tersebut agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Karena sangat jelas tindakan tersebut merupakan intimidasi dan bukan merupakan bagian dari tupoksi anggota TNI yang bertugas menjaga pertahanan negara.
“Diskusi kampus bukanlah merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (17/4/2025).
Usman mengatakan, tindakan anggota TNI tersebut mengkonfirmasi kekhawatiran publik terkait militerisasi ruang publik seiring kuatnya penolakan masyarakat terhadap revisi UU TNI yang baru saja disahkan 20 Maret lalu. Kampus harus menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan membangun kesadaran masyarakat.
“Kampus bukanlah wilayah operasi militer yang mengharuskan kehadiran anggota TNI untuk berjaga-jaga dengan dalih monitoring wilayah. Kejadian ini juga mengkonfirmasi kegagalan pihak kampus untuk melindungi segala aksi-aksi damai yang dilakukan oleh mahasiswa,” katanya.
Massa pengunjuk rasa berjalan kaki saat aksi terkait Revisi UU TNI di Jalan S. Parman menuju depan kompleks Parlemen di Jakarta, Kamis (20/3/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/app/rwa.
Sementara itu, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosari, melihat bahwa kondisi di atas memperlihatkan upaya meredam kritikan dan diskursus atas revisi UU TNI agar tidak meluas di daerah, terutama di kalangan mahasiswa dan kampus. Upaya tersebut mudah dianalisis melalui kedatangan mereka ke lokasi diskusi, tetapi bukan untuk terlibat diskusi.
“Mereka justru melakukan pendataan diskusi, mulai dari topik, peserta, hingga pemateri dengan dalih monitoring wilayah, sehingga membuat peserta tidak nyaman dan terintervensi,” kata dia kepada Tirto, Kamis (17/4/2025).
Bagi Ikhsan, ini jelas gangguan nyata terhadap kebebasan akademik mahasiswa. Tindakan ini seakan memperlihatkan aparat tidak memahami bahwa kampus memang tempatnya berdiskusi maupun bertukar pikiran. Sehingga jangan disikapi seakan tempat maupun kegiatan seperti itu berpotensi menjadi ancaman.
Karena masuknya TNI ke kampus ini bukan sekadar soal prosedural. Ini menyangkut arah masa depan demokrasi Indonesia: apakah kita ingin membangun masyarakat yang kritis, terbuka, dan berani berpikir berbeda, atau justru kembali ke zaman di mana suara rakyat dibungkam dengan seragam dan senjata? Jika ruang-ruang pendidikan sudah tidak aman dari intervensi militer, lalu ke mana lagi kebebasan berpikir bisa bernaung?
Pembelaan TNI
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen Wahyu Yudhayana, justru menegaskan bahwa tidak adanya intervensi pada saat diselenggarakannya diskusi akademik di UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah. TNI pun memastikan bahwa yang hadir di acara diskusi tersebut hanya Babinsa Koramil Ngaliyan.
"Babinsa hadir di sekitar kampus hanya untuk monitoring wilayah, karena sebelumnya beredar pamflet undangan diskusi yang bersifat terbuka untuk umum. Itu bagian dari tugas Babinsa dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayah binaannya,” ujar Wahyu di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (16/4/2025).
Lebih lanjut dia menjelaskan, Babinsa yang hadir atas nama Sertu Rokiman. Dia dipastikan hadir hanya semata-mata dalam rangka menjalankan tugas rutin sebagai aparat kewilayahan. "Kehadiran Sertu Rokiman pun terbatas di area depan kampus dan tidak masuk ke dalam lokasi acara diskusi," ungkap dia.
Dia menambahkan, tidak ada intervensi apapun untuk menghentikan kegiatan diskusi. Babinsa juga tidak pernah memanggil mahasiswa keluar kampus untuk menemuinya.
Wahyu menyampaikan, apa yang dilakukan Babinsa ini menunjukkan bahwa tugas yang dilakukannya sudah sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagai aparat teritorial. Dia bahkan bisa memastikan bahwa pria yang masuk mengenakan pakaian hitam bukanlah anggota TNI.
“Kami tegaskan, orang dalam video tersebut bukan anggota kami. Kehadiran Babinsa pun hanya satu orang, dan itu pun berada di luar forum diskusi,” tutur dia.
Menurut Wahyu, TNI menghormati sepenuhnya kebebasan akademik di lingkungan perguruan tinggi dan tidak memiliki kepentingan untuk mencampuri urusan internal kampus. Dia juga memastikan komitmen TNI menjaga sinergi dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk civitas akademika, demi menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang