tirto.id - Bangunan berbentuk kubus itu lebih tampak seperti tempat tinggal bagi unggas atau hewan peliharaan domestik. Berdinding papan-papan kayu dan bambu yang mulai lapuk. Atapnya hanya berbahan seng yang tampak berkarat. Pintu tak bisa dikunci, dinding itu tak menutup sampai penuh sehingga menyisakan celah besar di sisi bagian atas. Di bangunan berukuran dua kali dua meter itulah sebanyak tiga kepala keluarga (KK) bergantian buang air besar.
Jamban atau toilet memang bukan urusan sepele. Kakus berpengaruh besar terhadap hajat hidup orang banyak. Tidak berlebihan jika kepemilikan jamban sehat yang layak merupakan kebutuhan primer. Namun, di sebuah desa di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dikunjungi Tirto, Kamis (13/3/2025), hak hidup itulah yang kini sedang diperjuangkan oleh warga desa.
Bangunan reyot yang dipakai untuk buang air besar oleh tiga kepala keluarga di awal tulisan adalah milik seorang warga bernama Riyan. Ia menyebut bangunan itu sebagai WC darurat. Di dalamnya, tentu tidak seperti jamban lumrahnya. Tidak ada kloset sebagaimana mestinya untuk mendaratkan tinja ke pembuangan atau septic tank. Kloset digantikan sebilah bambu yang dipotong di bagian tengah dan diposisikan agak turun agar tinja bisa meluncur sampai ke lubang penampungan.
Tentu bukan lubang septic tank umumnya. Lubang penampungan itu hanya sebuah galian di tanah yang tidak disemen sama sekali. Atasnya hanya ditutupi oleh bilah-bilah bambu agar tak ada orang yang kurang beruntung terjeblos ke dalamnya. Tentu bau tak sedap beberapa kali menjahili hidung. Apalagi hari itu, hujan turun amat deras sehingga pembuangan hampir luber.
“Di musim panas juga bau tak sedap, karena panas isi pembuangan kan menguap,” ungkap Riyan ketika ditemui Tirto di kediamannya.
WC darurat yang digunakan warga di salah satu desa di Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Kamis (13/2025). tirto.id/Mochammad Fajar Nur
Riyan memang tak keberatan berbagi WC darurat itu kepada tetangga-tetangganya. Terlebih masih banyak warga desa yang sama sekali tidak punya jamban. Jangkan jamban tak layak, kakus saja tidak punya. Namun, kelamaan Riyan juga khawatir kondisi ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dirinya dan keluarga. Terlebih, penggunaan jamban belum layak secara bergantian akan membuat penularan penyakit menular semakin rentan.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai fasilitator desa itu juga mengkhawatirkan kondisi dari tetangganya. Beberapa keluarga yang menumpang WC darurat di tempat Riyan juga masih memiliki anak perempuan. Tentu, bagi Riyan, jamban sederhana miliknya terlalu rentan bagi kesehatan anak-anak dan perempuan muda.
Jika sudah mules di malam hari akan lebih repot lagi. Bangunan yang terpisah dari rumah itu berada di bagian belakang sehingga harus berjalan kaki. Tetangganya tentu harus berjalan kaki lebih jauh. Jika tengah hujan deras, air akan menyiram ke dalam membuat lepek orang yang buang air besar sambil menahan gigil.
“Tidak nyaman sekali, apalagi kalau dengan cuaca hujan begini. Nyamuk itu keluar masuk,” tutur Riyan.
Cuaca memang tidak bersahabat ketika Tirto sampai di desa yang terletak 45 kilometer dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur itu. Tiba pukul 10.15 waktu setempat dengan terpaan terik mentari yang menyengat. Sejurus kemudian hujan lebat menyiram saat tengah hari. Desa itu memang terletak cukup jauh dari kota dan berada di wilayah berbukit.
Jalan menuju desa itu sudah rusak sedari dua desa sebelumnya. Artinya, mayoritas perjalan sampai sana dilalui dengan goncangan yang mengocok isi perut. Jalur becek dan berlumpur imbas diguyur hujan semalam, membuat nuansa perjalanan laiknya berkendara off-road.
Desa tersebut merupakan salah satu wilayah dampingan dari Wahana Visi Indonesia (WVI) – organisasi non-pemerintah dengan fokus kemanusiaan dan pemenuhan hak anak – yang menemani perjalanan Tirto di Manggarai Timur. Pada tiga klaster wilayah Manggarai, yakni Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur, dan Kabupaten Manggarai Barat, WVI memang tengah menjalankan program air bersih dan sanitasi sejak 2021. Program tersebut merupakan salah satu bagian dari program besar bertajuk #ToiletuntukFlores yang berupaya membantu mewujudkan sanitasi layak dan air bersih bagi warga NTT.
Proyek ini dimulai dengan proses pemicuan di masyarakat soal pentingnya perilaku higienis. Lantas dilanjutkan dengan pelatihan untuk masyarakat agar dapat membuat kloset jongkok kerajinan sendiri dengan standar dasar. Toilet juga akan dilengkapi dengan satu fasilitas cuci tangan dasar, sehingga anak-anak dan masyarakat mempraktikkan perilaku cuci tangan.
Riyan menjadi salah satu warga yang dilatih WVI sebagai fasilitator untuk mengedukasi dan mengkoordinir warga desa lainnya agar bekerja sama membuat kloset standar. Ia mengaku keahlian tersebut sangat berguna karena memantik warga berdaya atas kebutuhan dasar hidup mereka.
WVI memberikan bantuan seluruh bahan baku pembuatan kloset dan septic tank sesuai standar. Barulah Riyan yang mengajari warga desa cara meracik seluruh bahan baku tersebut sehingga dapat digunakan hasilnya oleh kepala keluarga yang belum memiliki jamban atau punya jamban tetapi tidak sesuai standar.
“Bahan-bahannya itu kayak semen hitam, kalsium, pasir dan cetakan dari WVI. Warga di sini semangat membuat kloset, bahkan sudah banyak yang ahli. Kita rencananya juga diundang ke desa sebelah nanti buat ajarkan mereka juga buat,” terang Riyan bersemangat.
Ketika Tirto mengunjungi desa, sudah ada 50 kloset jongkok buatan warga yang siap pakai. Prioritas pertama yang mendapatkan kloset adalah KK yang sama sekali tak memiliki WC di rumahnya. Kloset buatan warga memang tampak kokoh dan sudah mirip dengan yang biasa dijual di toko bangunan. Dengan begitu, warga tinggal memasang kloset ini ke tempat yang sudah mereka siapkan sebagai jamban pribadi.
Angga, sang Kepala Desa, menyatakan sebetulnya warganya bukan tidak paham seberapa urgensi jamban layak dan sanitasi bersih. Kondisi ekonomi yang membuat warga belum bisa membangun WC sendiri dan memilih menumpang kepada tetangga. Itupun mayoritas warga yang memiliki jamban, bentuknya merupakan WC darurat seperti milik Riyan.
Menurut Angga, kehadiran program air bersih dan sanitasi dari WVI membantu meringankan kesulitan warga memperoleh toilet layak. Jika WC darurat sedang penuh, Angga merasa tak tega karena warganya terpaksa memilih buang air besar sembarangan di kebun atau hutan. Di desa tersebut, kata Angga, masih ada 136 KK yang belum memiliki jamban di rumahnya.
“Berarti sekitar 136 KK yang nantinya jadi penerima manfaat dari program sanitasi. Program yang dicanangkan oleh WVI sekitar untuk 100 KK, untuk menyambut itu, untuk menggenapi semua itu, sisa 36 dari dana desa,” ucap Angga ketika Tirto menyambangi rumahnya.
Warga desa mendapatkan pelatihan membuat kloset jongkok. tirto.id/Mochammad Fajar Nur
Jamban Tak Layak Pemicu Stunting
Provinsi NTT, khususnya di klaster Manggarai (Manggarai Timur, Tengah dan Barat) masih banyak anak yang belum memiliki akses jamban sehat dan layak. Menurut data WVI, hanya 30 persen rumah tangga di Klaster Manggarai yang memiliki toilet sehat, sedangkan sisanya belum memiliki toilet yang layak. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab tingginya angka stunting atau tangkes di klaster Manggarai. Sanitasi buruk dan jamban tidak sehat memang dapat meningkatkan risiko stunting.
Khusus klaster Manggarai, pantauan WVI menunjukkan bahwa 11,3 persen anak Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur mengalami diare pada 2023. Angka ini lebih tinggi dari jumlah rata-rata Indonesia pada tahun yang sama, yakni 9,8 persen. Hal ini disebabkan buruknya fasilitas sanitasi mendasar yang tersedia pada ketiga daerah tersebut. Ketiadaan fasilitas diikuti dengan perilaku masyarakat yang belum memahami urgensi hidup sehat dan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM).
Amabilus Lasan, Kepala Puskesmas yang wilayah tugasnya mencakup desa yang Tirto dan WVI kunjungi, memaparkan bahwa diare, gizi kurang, dan stunting menjadi pekerjaan rumah di lima desa yang menjadi wilayah kerjanya. Dari lima desa itu, kata dia, tahun lalu saja ada 77 kasus diare tercatat, dengan 43 di antaranya adalah anak-anak.
Sementara per Februari 2025, di lima desa tersebut tercatat ada 34 kasus stunting. Empat kasus terjadi di desa yang Tirto kunjungi. Dari total 567 balita yang tercatat di lima desa awal tahun ini, 43 balita mengalami kasus gizi kurang. Di antaranya adalah enam balita dari desa yang Tirto kunjungi.
Amabilus menilai, selain karena faktor ekonomi, kebiasaan warga buang air besar di tempat yang tak semestinya juga membuat risiko penularan penyakit semakin tinggi. Ia menilai, ada 20 persen warga dari lima desa yang melakukan buang air besar sembarangan (BABS). Tak ayal penyakit seperti diare hingga stunting berpotensi timbul dari kondisi semacam ini.
“Kalau dia sanitasinya jelek, dalam hal ini jamban keluarganya tidak ada, dan tak memenuhi syarat, itu akan sekali berisiko terhadap pencemaran penyakit-penyakit menular. Misalnya diare, hingga ISPA bisa. Ibu hamil atau anak yang sering terkena diare berpotensi stunting,” kata Amabilus ketika ditemui Tirto.
Dengan menekankan perubahan perilaku di dalam dan lewat masyarakat, WVI tidak hanya membantu pembangunan dan pemeliharaan perangkat keras, tetapi proyek dimulai dengan promosi perubahan perilaku pola hidup sehat. Proyek ini juga dijalankan mempertimbangkan efektivitas biaya program WASH (Water, Sanitation and Hygiene) WVI dengan menyediakan data yang diperkuat dan pemantauan serta perancangan berbasis bukti.
Hubungan antara perilaku buang air besar sehat dengan status kesehatan penduduk terbagi menjadi dampak langsung dan tidak langsung. Efek langsung dapat mengurangi incidence penyakit yang ditularkan karena kontaminasi tinja seperti kolera, disentri, hingga tifus.
Efek tidak langsung pembuangan tinja berkaitan juga dengan komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi higiene lingkungan. Sementara buang air besar sembarangan, terutama pada kondisi sanitasi yang buruk, mampu menimbulkan dampak yang serius bagi kesehatan anak-anak dan juga berkontribusi terhadap stunting.
Perilaku buang air besar sembarangan merupakan pencemaran lingkungan, terutama pada air dan tanah. Hal ini mengakibatkan penyebaran penyakit seperti diare serta infeksi parasit. Penyakit-penyakit ini yang nantinya mengganggu penyerapan nutrisi pada tubuh anak, yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Jamban sehat yang dibangun warga bekerja sama dengan program WVI di Manggarai Timur. tirto.id/Fajar Nur
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, Surip Tintin, mengaku masih banyak warga yang tak memahami keterkaitan antara sanitasi sehat dan air bersih terhadap kondisi kesehatan keluarga. Padahal, kata Tintin, anak dan ibu hamil yang sering terimbas penyakit sangat rentan berakhir dengan munculnya persoalan stunting. Penggunaan air yang tidak sehat, ditambah kebiasaan buang air besar sembarangan, menyebabkan kontaminasi air.
Air itu akhirnya tetap digunakan oleh rumah tangga. Kontaminasi bakteri terhadap makanan yang dihidangkan setiap hari oleh keluarga menjadi tinggi. Kuman yang masuk ke tubuh itu akan menyebabkan kondisi sakit berulang-ulang. Alhasil energi tubuh akan habis karena dia berfokus melawan penyakit.
“Nah saat sudah sakit ini, balita yang sering sakit, ibu hamil yang sering sakit, itu dia akan KEK [kurang energi kronis]. Balitanya ini akan gizi kurang, gizi buruk dan akhirnya stunting. Stunting itu kan proses panjang, dia bukan hari ini sakit, besok stunting,” jelas Tintin ketika ditemui Tirto di Kota Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Selasa (11/3/2025).
Menurut catatan BPS, prevalensi stunting di Kabupaten Manggarai Timur masih cukup tinggi meskipun terdapat tren penurunan. Pada 2024, kasus stunting tercatat 1.992 setara dengan 8 persen. Angka ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 2.195 kasus yang setara dengan 9 persen. Sementara pada 2022, angka stunting mencapai 2.408 kasus atau dengan prevalensi 10 persen.
Tintin menjelaskan, intervensi spesifik dan sensitif memang amat penting dalam dilakukan dalam penanganan stunting. Mengacu Perpres Nomor 72/2021 soal Percepatan Penurunan Stunting, intervensi gizi spesifik, adalah intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan. Sementara intervensi gizi sensitif, yakni intervensi pendukung untuk penurunan kecepatan stunting, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.
Berdasarkan catatan Dinkes Manggarai Timur, terdapat 35 desa yang belum menyandang status Open Defecation Free (ODF) atau Bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS).
Menurut Tintin, pihaknya memang berupaya melakukan intervensi lewat sosialisasi edukasi dan pemeriksaan kesehatan terhadap warga. Sementara upaya intervensi sensitif, ia yakin pemerintahan kabupaten sudah terus mengupayakannya dengan melakukan pembangunan infrastruktur di desa-desa terisolasi.
“Nah intervensi sanitasi ada dua, yaitu cakupan jamban sehat, dan juga pemanfaatan atau penggunaan air bersih yang sehat, yang layak. Jadi dua ini yang sangat berpengaruh di sensitif,” ucap Tintin.
Wakil Bupati Manggarai Timur, Tarsisius Sjukur, menyatakan pemerintah kabupaten akan menjamin kesehatan ibu dan anak. Ia mengaku akan membawa Manggarai Timur jadi salah satu kabupaten layak anak. Wakil bupati yang baru dilantik itu berjanji pembangunan infrastruktur air bersih dan sanitasi layak akan terus diupayakan di seluruh wilayahnya.
“Pemerintah kabupaten mendorong pemerintah desa juga membantu masyarakat yang tidak berdaya, yang tidak memiliki kapital atau uang untuk membangun WC sendiri. Karena itu kebanyakan masyarakat di desa yang buang air besar itu di sembarang tempat,” ungkapnya ditemui Tirto di rumahnya di Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Selasa (11/3/2025).
Ditemui terpisah, Manajer Wahana Visi Indonesia (WVI) klaster Manggarai, Ignatius Anggoro, merasa bahwa warga Manggarai memang terkenal sangat guyub dan gotong royong dalam menghadapi persoalan.
Hal itu, kata dia, sangat terasa saat melaksanakan program sanitasi dan air bersih di enam kecamatan di klaster Manggarai (Timur, Manggarai, dan Barat). Menurut Anggoro, program WVI sangat didukung oleh pemerintah kabupaten dan hanya bisa terlaksana berkat kemandirian warga untuk berdaya dan hidup sehat.
Dia berharap, anak-anak di klaster Manggarai bisa hidup layak dan tumbuh dengan sehat. Ketika persoalan buang air besar sembarangan teratasi, Anggoro yakin persoalan penyakit dan gizi anak bisa diperbaiki. Stunting, kata dia, adalah imbas dari persoalan sanitasi yang tak diselesaikan secara sistematis.
“Masalah harus dipecahkan bersama-sama. Wahana Visi Indonesia melihat itu jadi kekuatan dari masyarakat itu sendiri sehingga Wahana Visi Indonesia juga mendorong masyarakat terus melakukan gotong royong menolong banyak orang. Karena prinsip dari sanitasi total berbasis masyarakat adalah partisipasi masyarakat yang tinggi,” ujar Anggoro ketika ditemui di Kabupaten Manggarai Timur, Kamis (13/3/2025).
Jamban sehat yang dibangun warga bekerja sama dengan program WVI di Manggarai Timur. tirto.id/Fajar Nur
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz