Utang, Dukun, dan Distopia Indonesia

4 hours ago 8

tirto.id - Beberapa bulan terakhir, para sahabat, saudara dan tetangga saya tak henti menceritakan kesulitan hidup yang tengah mereka hadapi.

Mereka–para petani, tukang batu, pedagang eceran, pegawai rendahan, pengrajin, guru, dan buruh–bukanlah orang-orang dengan keterampilan literasi tinggi dalam memahami dan menguraikan persoalan hidup yang mereka alami. Mereka bercerita berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari. Namun, justru sejauh dikaitkan dengan pengalaman itulah berbagai penjelasan “ilmiah” yang berseliweran di media menemukan makna dan relevansinya dengan kehidupan nyata.

Secara umum, nada utama suara para sahabat, saudara, dan tetangga itu terdengar pesimis dan murung. Setelah sebentar merasakan kegembiraan menerima berbagai bantuan pemerintah, kehidupan kembali berjalan lambat. Biasanya, mereka bersemangat pergi ke sawah, sebagai petani atau buruh tanam dan panen.

Sejak menerima bantuan pemerintah, semangat bertani mereka menurun, karena merasa sudah tercukupi, sehingga persediaan beras tidak lagi sebanyak biasanya. Bantuan pemerintah tentu saja hanya sementara dan jumlahnya tidak seberapa–karena itu tidak dapat diandalkan. Jika dahulu mereka melakukan kerja sampingan untuk membeli lauk saja, karena persediaan beras cukup, sekarang mereka harus membeli beras sekalian lauknya, sehingga menambah beban pengeluaran.

Mencari pekerjaan di masa sekarang tidak mudah. Indonesia sedang mengalami situasi—dalam istilah para ahli—“deindustrialisasi.” Merujuk data Bank Dunia, produktivitas sektor manufaktur Indonesia terus menurun. Pada 2022, kontribusi manufaktur Indonesia terhadap PDB sebesar 18,34%, turun 10% dalam dua dasawarsa terakhir. Tutupnya Sritex baru-baru ini menunjukkan tren deindustrialisasi masih berlangsung.

Di daerah kami, sebuah pabrik pengolahan kayu yang cukup besar baru saja tutup. Ribuan orang yang bekerja dari hulu (penyedia bahan baku) sampai hilir (distribusi) sama-sama kehilangan pekerjaan. Mereka kemudian bekerja di sektor informal dengan membuka warung, menjadi pedagang kaki lima, tukang ojek, dan sejenisnya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut biasanya dilakukan oleh para petani pada masa sela menunggu musim panen tiba. Kali ini, para petani-sela itu harus bersaing dengan tetangga, teman, dan saudara mereka sendiri yang tiba-tiba mengambil pekerjaan informal di sektor yang sama.

Masyarakat yang sudah rentan semakin meningkat kerentanannya. Persaingan usaha di sektor informal jauh lebih berat. Bukan semata karena jumlah pemainnya yang belakangan terus meningkat, tetapi juga karena tidak adanya payung hukum yang melindunginya. Ketika sebagian tetangga bercerita bahwa kawan mereka pergi ke dukun untuk mencari aneka jimat penglarisan, hal tersebut sudah cukup menggambarkan betapa tingginya tingkat stres dalam menghadapi iklim kompetitif dalam skup terkecil ekonomi.

Bagi sebagian orang, dukun dianggap memiliki akses terhadap kekuatan dunia gaib serta punya kemampuan mengubah keadaan dengan mekanisme tidak konvensional. Di tengah masa sulit, dengan berbagai persoalan yang sulit diselesaikan, dukun dijadikan alternatif mendapatkan solusi. Jika petuah para dukun tidak cukup mujarab atau pengaruhnya dirasa terlalu lambat dan lemah signifikansinya, paling tidak mereka telah memberi ketenangan secara psikologis: Jika pohon di depan tokomu terkena petir, atau jika ada pembeli berbaju biru pada hari Rabu, jika…

Setelah bantuan pemerintah ludes, di samping meminta bantuan dukun, jaring pengaman sosial yang tersedia adalah solusi yang jauh lebih berisiko, yaitu mengambil pinjaman online (pinjol). Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Juni 2024 jumlah pinjaman online melalui Peer-to-Peer Lending (P2P) mencapai Rp66,79 triliun. Mengacu data Mandiri Institute tahun 2023, pengguna terbesar pinjol adalah kelompok kelas menengah (0.25%), mendekati menengah (0,21%), rentan (0.12%), dan miskin (0.08%). Bahkan, kalangan atas juga menggunakan pinjol dengan angka cukup tinggi (0.14%).

Melihat data di atas, tak terhitung sahabat dan tetangga saya yang menjadi korban dari jasa keuangan ini, dengan angka dan tingkat stres yang bervariasi. Setelah dimiskinkan secara struktural lewat persaingan tidak seimbang dalam sistem ekonomi pasar, mereka masih dimiskinkan pula lewat struktur keuangan yang bermotif pemerasan. Dalam beberapa kasus, juga disertai kekerasan: data pribadi digunakan sebagai instrumen penekan untuk menagih angsuran.

Jasa keuangan online telah mengubah moralitas secara drastis, di mana utang perlahan menjadi bagian dari norma sosial. Implikasi dari “finansialisasi kehidupan sehari-hari” ini jauh lebih besar dibanding ukuran kuantitatifnya. Ketika utang menjadi bagian dari moralitas, ia akan membentuk relasi sosial yang transaksional: segala sesuatu diukur dari rendah dan tingginya utang, sedangkan nilai-nilai seperti kesalehan, tanggung jawab, kejujuran, dan komitmen ditempatkan sebagai pelengkap.

Utang juga membentuk ikatan sosial yang koersif: semakin dilaksanakan, semakin besar pula risiko konfliknya, mulai unit sosial terkecil, yaitu relasi antarindividu hingga institusi yang lebih besar seperti negara. Jika persebaran utang cukup merata, Indonesia sebagai bangsa akan terus mengalami pelemahan, bukan karena faktor eksternal sebagaimana sering disampaikan pejabat maupun politisi, melainkan internal. Budaya utang terus mendorong terjadinya atomisasi sosial. Maraknya kawin cerai, kriminalitas, pertikaian warga, perlu diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan utang.

Sampai di sini, utang bukan hanya menimbulkan risiko (jangka pendek) finansial dan sosial, melainkan juga risiko (jangka panjang) politik dengan pertaruhan yang besar: solidaritas kita sebagai sebuah bangsa. Risiko tersebut semakin berat dirasakan mengingat, dalam banyak kasus yang saya dengar dari masyarakat, utang digunakan sebagai pengaman sosial (konsumsi kebutuhan pokok), alih-alih keperluan produktif seperti membuka usaha.

Sejauh mana fenomena utang berkorelasi secara signifikan dengan masalah keamanan dan pertahanan negara, perlu studi tersendiri. Namun, di tingkat akar rumput bentuk dan ikatan solidaritas semakin renggang setelah utang menjadi pilihan pengaman sosial.

Menuju Distopia

Di tengah lanskap yang suram tersebut, di mana masyarakat mengalami “tekanan maksimum” baik finansial, sosial dan mental, harapan besar hanya pada negara. Celakanya, negara juga sedang mengalami persoalan "paralisis", yaitu situasi di mana antarkelompok kepentingan saling bergantung dan bersaing, sehingga sulit melakukan pengambilan kebijakan yang tepat, populer, dan kuat. Berbagai berita soal skandal politik yang belakangan muncul menggambarkan situasi tersebut, menambah runyam keadaan.

Lazimnya, situasi yang sulit akan melahirkan kepemimpinan yang kuat. Namun, benalu paralisis tidak memungkinkan konsolidasi untuk memperkuat solidaritas nasional. Maka, negara berjalan lemah dan tanpa utopia atau harapan. Padahal, visi imajinatif tersebut amat dibutuhkan sebagai panduan dalam memahami keadaan sambil mencari jalan keluar dari krisis yang melanda. Pemimpin-pemimpin besar lahir karena mereka mampu menciptakan utopia sebagai arah sejarah bangsanya yang sedang terlunta-lunta.

Sebaliknya, apa yang kemudian dirasakan justru distopia. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan John Stuart Mill dalam pidatonya di Parlemen Inggris pada 1968. Secara umum, distopia ditandai oleh kepemimpinan kuat namun tidak kompeten; ketimpangan ekonomi yang luar biasa sebagaimana dalam sistem neoliberal sekarang ini; propaganda dan kontrol informasi seperti fenomena sensor, buzzer, dan rekayasa algoritma media; mundurnya etika sosial seperti maraknya kleptokrasi dan korupsi; lanskap global yang diwarnai perang di berbagai kawasan; hingga degradasi lingkungan sebagai daya dukung utama kehidupan.

Dalam konteks tersebut, wahana teknologi yang seharusnya menjadi ruang alternatif untuk melakukan evaluasi dan refleksi justru menjadi instrumen kontrol untuk mengendalikan. Objeknya bukan hanya pikiran, tetapi bahkan identitas jasmani warga, seperti sidik jari, biometrik, dan DNA. Tubuh bukan lagi milik seseorang, melainkan aset politik negara. Dalam situasi demikian, negara menampilkan wajah totalitarianisme yang bekerja justru lebih masif dalam masyarakat terbuka. Akibatnya, lembaga negara semakin kuat dan sembrono, sedangkan rakyatnya kian merosot dan tak berdaya.

Di desa saya, di tengah tanda-tanda kedatangan distopia, paling tidak para dukun masih berupaya menawarkan utopia. Banyak orang meragukan tuah mereka, tetapi yang memilih untuk menyambangi mereka juga tidak sedikit jumlahnya.

Kamu harus melakukan puasa...”

Paling tidak, demikian saran dukun yang dilakoni dengan sungguh-sungguh oleh sebagian besar kliennya.

Penulis adalah seniman dan peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI), Depok, dan tinggal di Majenang, Cilacap.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |