tirto.id - Indonesia kini menghadapi tantangan fiskal dan moneter yang semakin kompleks di tengah pembengkakan Utang Luar Negeri (ULN). Berdasarkan data terbaru dari Bank Indonesia, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai sebesar 427,5 miliar dolar AS atau Rp6.997 triliun (asumsi kurs Rp16.370) per Januari 2025. Posisi ini tumbuh 5,1 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy), juga meningkat dibandingkan dengan posisi ULN Desember 2024 yang tumbuh 4,2 persen (yoy).
Posisi ULN Indonesia terdiri dari pemerintah 204,79 miliar dolar AS, Bank Indonesia 28,34 miliar dolar AS, dan swasta 194,39 miliar dolar AS. Secara tahunan, dibanding posisi akhir Januari 2024, ketiganya mengalami perubahan yang berbeda. ULN pemerintah naik 5,34 persen, ULN Bank Indonesia melonjak 93,94 persen, dan ULN swasta justru turun sebesar 1,71 persen.
Pembengkakan ULN di awal tahun ini harus dipandang secara serius dan kritis oleh pemerintah serta Bank Indonesia. Meskipun rasio ULN terhadap PDB sebesar 31 persen masih tergolong terkendali, menurut standar internasional, namun tren kenaikan yang signifikan dibandingkan periode sebelumnya, yang relatif landai di bawah 5 persen, justru mencerminkan adanya potensi risiko fiskal dan moneter yang perlu diantisipasi secara ketat.
“Penguasaan ULN jangka panjang memang mengurangi risiko likuiditas jangka pendek, tetapi beban bunga serta risiko nilai tukar, di tengah ketidakpastian ekonomi global, tetap menjadi ancaman yang nyata," kata Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).
Dari sisi fiskal, beban utang yang semakin besar membawa dampak langsung pada kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Selain itu, pembayaran bunga utang yang meningkat juga berpotensi mengurangi ruang fiskal untuk kebijakan pembangunan. Jika tidak dikelola dengan bijak, pembengkakan utang dapat menyebabkan defisit anggaran yang lebih besar dan meningkatkan ketergantungan pada pembiayaan eksternal.
Sedangkan dari sisi moneter, pembengkakan ULN dapat menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah, terutama jika sebagian besar utang dalam mata uang asing. Ketidakstabilan nilai tukar rupiah akan berdampak pada inflasi, meningkatkan biaya hidup, serta mengganggu daya beli masyarakat.
“Maka ini harus dipandang secara serius dan kritis oleh pemerintah serta Bank Indonesia,” ujar Rizal.
Dari sisi kebijakan, kata Rizal, pemerintah selama ini terkesan belum mengambil langkah agresif dalam mengelola ULN secara lebih terukur. Strategi pengelolaan utang yang masih bertumpu pada restrukturisasi dan diversifikasi instrumen pendanaan belum cukup untuk menekan laju kenaikan ULN secara signifikan.
Oleh karena itu, upaya nyata dalam meningkatkan penerimaan domestik, baik melalui optimalisasi perpajakan maupun sumber-sumber pendapatan negara lainnya, menjadi langkah wajib yang tidak lagi dapat ditunda. Efisiensi anggaran dan pengendalian belanja negara harus segera dilakukan secara serius, bukan sekadar menjadi retorika dalam berbagai kesempatan publik.
Ke depan, pemerintah dan otoritas moneter juga perlu memperkuat koordinasi secara lebih nyata dengan arah kebijakan yang jelas, fokus pada pengurangan ketergantungan terhadap utang luar negeri, dan meningkatkan kapasitas pembiayaan domestik. Dorongan terhadap investasi produktif, perbaikan neraca transaksi berjalan, serta penguatan fundamental ekonomi harus menjadi prioritas utama.
“Tanpa tindakan korektif yang terukur dan disiplin fiskal yang ketat, kenaikan ULN ini berpotensi menciptakan tekanan sistemik pada stabilitas makroekonomi Indonesia dalam jangka menengah hingga panjang,” jelasnya.
Masih dalam Batas Wajar?
Meski ULN per Januari menjadi alarm bagi pemerintah dan BI, namun menurut ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, situasi ULN saat ini masih relatif aman. Rasio ULN terhadap PDB mencapai 30,41 persen, relatif stabil dalam 10 tahun terakhir. Debt Service Ratio (DSR) Tier 1 juga berada di level 18,63 persen, sehingga masih di bawah batas berisiko yaitu 20 persen. Debt to Service Ratio atau DSR adalah metrik yang digunakan untuk mengetahui perbandingan rasio total hutang dan total pendapatan.
Hanya saja, memang, kata Wijayanto, yang perlu diantisipasi adalah jika dinamika ekonomi dunia terus memburuk, rupiah dengan cepat akan terdepresiasi sehingga rasio-rasio tersebut akan melejit seketika, DSR 18,63 persen rentan melejit ke 25 persen lebih.
“Dalam kondisi tersebut, refinancing ULN merupakan tantangan tersendiri. Hal-hal seperti ini perlu menjadi catatan bagi pemerintah untuk diantisipasi,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (18/3/2025).
Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky, menambahkan, hal yang menarik dari data ULN adalah porsi swasta yang cenderung menurun dalam 10 tahun terakhir, sementara porsi pemerintah dan BI justru makin membesar.
Dia mengatakan, ULN Pemerintah mengalami kenaikan cukup pesat. Padahal, selama beberapa tahun sebelumnya, kenaikan ULN Pemerintah cukup landai di bawah 5 persen, bahkan sempat mengalami penurunan bulan ke bulan.
Penyebab sempat melandainya ULN pemerintah antara lain adalah banyaknya utang kepada Bank Indonesia, berupa Surat Berharga Negara (SBN). Selain BI, perbankan pun masih membeli SBN, begitu juga dana pensiun dan asuransi domestik, serta perseorangan. Termasuk di dalamnya BPJS Ketenagakerjaan dan Dana Haji.
“ULN Pemerintah berpotensi terus meningkat lebih pesat selama setahun mendatang. Sumber dana yang dimiliki dan dialokasikan untuk pembelian SBN dari bank dan lainnya makin terbatas. Hanya Bank Indonesia yang relatif masih punya sumber dana untuk pembelian SBN, termasuk bersedia revolving yang jatuh tempo,” ujar Awalil dalam pernyataannya, Selasa (18/3/2025).
Sedangkan ULN yang mengalami kenaikan paling pesat adalah Bank Indonesia yang mencapai hampir dua kali lipat selama setahun. Bahkan, dilihat 5 tahun terakhir, kenaikannya sekitar 10 kali lipat dari posisi Januari 2020 yang hanya 2,82 miliar dolar AS. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, ULN pemerintah turun 0,08 persen dan ULN swasta turun 3,59 persen
Lonjakan ULN Bank Indonesia, menurut Awalil, pertama terjadi pada Agustus 2021 ketika “dipaksa” berutang oleh International Monetary Fund (IMF). IMF membagi cadangan devisa kepada seluruh anggotanya sesuai kuota saham, namun mencatatnya sebagai utang bank sentral masing-masing. Posisi ULN BI per Juli 2021 sebesar saat itu 2,84 dolar AS miliar menjadi 9,17 miliar dolar AS per Agustus 2021.
Laju kenaikan ULN Bank Indonesia selanjutnya disebabkan oleh penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sejak September 2023. SRBI merupakan instrumen surat utang yang dikeluarkan BI berjangka pendek, antara lain 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan. SRBI yang dibeli oleh pihak asing tercatat sebagai ULN.
Sebagai gambaran saja, posisi SRBI per minggu kedua September 2023 ketika mulai diterbitkan hanya sebesar Rp24,46 triliun. Pada akhir Januari telah sebesar Rp893,97 triliun. Bahkan sempat mencapai Rp940 triliun pada Desember 2024. Namun, kepemilikan asing yang dicatat sebagai ULN BI hanya sekitar 25 persen saja.
“Bagaimanapun, hal ini berdampak lonjakan ULN BI menjadi sebesar 28,34 miliar dolar AS per akhir Januari 2025,” jelas Awali.
Di sisi lain, ULN swasta justru mengalami penurunan sebesar 1,71 persen setahun terakhir. Dari 197,77 miliar dolar AS per Januari 2024 menjadi 194,39 miliar dolar AS per Januari 2025. Dinamika ini melanjutkan pola selama 5 tahun terakhir, di mana ULN swasta cenderung menurun, meski perlahan.
Salah satu penyebabnya, pihak swasta Indonesia mengoptimalkan pinjaman bank dan penjualan obligasi yang diserap pasar domestik. Tampaknya strategi itu terkait dengan volatilitas nilai rupiah yang meningkat dan cenderung melemah. Mekanisme hedging tidak sepenuhnya memecahkan masalah dan berdampak penambahan biaya bagi mereka.
Akan tetapi, setahun ke depan, ULN swasta diperkirakan berpotensi kembali meningkat. Antara lain disebabkan oleh persaingan memperoleh sumber dana domestik yang semakin berat, termasuk faktor SBN dan SRBI. Sumber luar negeri berpotensi kembali diandalkan, dengan syarat nilai rupiah relatif stabil. Potensi peningkatan ULN swasta juga berasal dari Danantara sebagai holding BUMN jika telah mulai beroperasi.
“Salah satu yang diharapkan Danantara adalah masuknya investasi asing, termasuk yang berupa utang. Baik berbentuk pinjaman ataupun surat utang (obligasi) Danantara dan BUMN,” jelas dia.
Struktur ULN Diklaim Tetap Sehat
Di tengah dinamika pembengkakan ULN, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, justru mengklaim bahwa posisi ULN pemerintah tetap terkendali. Mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah.
“ULN swasta juga tetap didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,6 persen terhadap total ULN swasta,” kata Ramdan dalam keterangannya, pada Selasa (18/3/2025).
Maka, dengan kondisi tersebut, bisa dipastikan bahwa struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Hal ini tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 30,3 persen pada Januari 2025, dari 30,5 persen pada Desember 2024, serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 84,7 persen dari total ULN.
Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Pada akhirnya, memang, pemerintah Indonesia diharapkan bisa menyeimbangkan antara kebutuhan untuk mendanai pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi dalam menghadapi risiko yang muncul akibat pembengkakan utang luar negeri ini. Dengan tantangan yang semakin berat, pemangku kebijakan di Indonesia harus memiliki strategi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk memastikan perekonomian Indonesia tetap tumbuh dan stabil di tengah risiko fiskal dan moneter yang ada.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Farida Susanty