tirto.id - Pada pengujung Maret esok, masyarakat Bali akan merayakan dua hari besar keagamaan secara berurutan. Umat Hindu Bali akan lebih dulu merayakan Nyepi, kemudian disusul umat Islam merayakan Idulfitri. Momen dua hari raya yang berdekatan itu tentu berkesan istimewa. Meski begitu, masyarakat juga mesti bersiap karena harga sejumlah bahan pangan di Provinsi Bali beranjak naik semenjak awal Ramadhan 2025.
“Ada perubahan harga. Bawang merah naik dari Rp30.000, sekarang Rp35.000. Harga cabai kemarin Rp80.000, sekarang Rp90.000,” kata Surya, salah satu pedagang di Pasar Badung, saat ditemui kontributor Tirto, Selasa (11/03/2025).
Surya mengeluhkan berkurangnya pembeli pada Ramadhan tahun ini karena perubahan perilaku belanja masyarakat. Sebagian warga urung berbelanja karena kondisi harga yang naik, sementara warga lainnya memilih belanja di sore hari menjelang waktu berbuka puasa.
“Banyak pelanggan mengeluh dan mengurangi jumlah [belanjaan]. Mau ditukar juga enggak bisa, kan? Biasanya untuk sambal matah, ayam geprek, itu harus pakai cabai fresh. Mau atau enggak, pasti dipakai. Mengurangi untung, biasanya,” bebernya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Juariyah, seorang pedagang daging ayam. Dia mengatakan bahwa harga daging ayam dan telur ayam ras biasanya mengalami kenaikan menjelang hari raya. Bahkan, kenaikan harga itu bisa terjadi secara harian.
“Setiap hari naik seribu, sampai lebaran terus naik. Kenaikan dari peternaknya. Nanti sampai lebaran bakal mahal. Tahun lalu saja sampai Rp45.000 per kilogram,” ucap Juariyah.
Tidak hanya penjual di pasar saja yang mengeluhkan kenaikan harga bahan pangan itu. Fitri, seorang pedagang ayam geprek, turut mengeluhkan harga bahan pangan yang fluktuatif. Terlebih, fluktuasi tersebut tidak bisa ditebak.
Beberapa hari lalu, misalnya, harga cabai sempat menyentuh angka Rp130.000/kg sebelum turun ke angka Rp90.000/kg.
“Masih mahal semua, kayak bawang putih, tomat. Pas mulai puasa, semua naik, apalagi cabai keriting, cabai merah besar, cabai biasa, semua sama,” kata Fitri.
Akibatnya, Fitri harus rela mengurangi margin keuntungannya secara signifikan. Meski hanya untung tipis, dia tetap bertahan berjualan ayam geprek demi menghidupi keluarganya.
Pedagang di Pasar Badung jelang dua hari raya besar, Nyepi dan Idulfitri, Selasa (11/03/2025). tirto.id/Sandra Gisela
Harga-Harga Naik
Melansir Sistem Informasi Harga Pangan Utama dan Komoditas Strategis (SiGapura) Provinsi Bali, sejumlah komoditas pangan memang mengalami peningkatan harga. Terbaru, di Kamis (13/03/2025), harga cabai rawit merah mengalami peningkatan 1,74 persen dibandingkan minggu sebelumnya, yakni ke harga Rp90.723/kg.
Bawang merah tercatat mengalami kenaikan 3,3 persen ke harga Rp33.291/kg. Bawang putih juga mengalami kenaikan sebesar 1,14 persen ke angka Rp40.206/kg. Lalu, gula mengalami kenaikan tipis sebesar 0,27 persen ke harga Rp18.344/kg.
Kenaikan harga paling tajam dialami komoditas telur ayam ras, yakni sebesar 14,99 persen ke harga Rp32.651/kg.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali, Erwin Soeriadmadja, menilai bahwa masyarakat harus waspada terhadap kenaikan harga pangan menjelang hari besar keagamaan. Pemerintah daerah di Bali diharapkan segera melakukan upaya pengendalian inflasi, misalnya melalui gerakan pasar murah (GPM) dan memperkuat kerja sama antardaerah.
“Upaya tersebut diperlukan untuk memitigasi kenaikan harga bahan pangan pada saat bulan Ramadhan dan rangkaian perayaan Nyepi,” kata Erwin dalam keterangan tertulis yang diterima kontributor Tirto, Rabu (05/03/2025).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menunjukkan bahwa inflasi tetap terkendali dengan catatan terjadinya deflasi sebesar -0,57 persen (MtM). Sementara secara tahunan, inflasi Bali turun menjadi 1,21 persen (YoY) dari 2,41 persen (YoY) pada Januari 2025.
Oleh karena itulah, menurut Erwin, tekanan inflasi yang dialami masyarakat Bali masih berada di dalam batas wajar.
Sementara itu, deflasi yang sempat terjadi pada Februari 2025 disebabkan oleh turunnya harga di sektor perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga, serta bidang makanan, minuman, dan tembakau. Faktor penyebabnya adalah diskon tarif listrik pascabayar untuk pemakaian Januari 2025.
Selain itu, terjadi penurunan harga untuk beberapa komoditas holtikultura, seperti bawang merah dan cabai rawit, karena telah memasuki musim panen.
Namun, menurut BI dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Bali, beberapa komoditas berpotensi mengalami kenaikan harga selama Ramadhan dan Nyepi, di antaranya daging ayam dan telur ayam ras. Kenaikan harga dua komoditas tersebut berdampak pada kenaikan harga jagung sebagai bahan baku pakan ternak.
Erwin juga menggarisbawahi potensi peningkatan harga minyak goreng yang seiring dengan kenaikan harga crude palm oil (CPO).
“Kenaikan harga daging babi didorong oleh tingginya permintaan dari daerah luar Bali yang masih terjangkit virus ternak babi. Kenaikan harga bensin didorong oleh kenaikan harga Pertamax. Harga kebutuhan upacara keagamaan, seperti canang sari, diperkirakan meningkat menjelang Nyepi,” terang Erwin.
Merespons hal tersebut, BI merencanakan beberapa langkah untuk menjamin stabilitas harga di Bali jelang Nyepi dan Idulfitri. Pertama, meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan penguatan implementasi regulasi perlindungan lahan pangan berkelanjutan dan mitigasi alih fungsi lahan, penguatan perairan, dan perluasan hilirisasi.
Menurut Erwin, produktivitas pertanian juga harus didorong dengan peningkatan efisiensi rantai pasok melalui penciptaan ekosistem ketahanan pangan. Dalam ekosistem tersebut, akan dilibatkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dan Perumda Pangan.
Selain itu, kerja sama hulu-hilir antara petani, penggilingan, Perumda Pangan, serta hotel, restoran, dan kafe (horeka) juga diperlukan. Hal itu bisa dilakukan dengan optimalisasi penggunaan produk lokal oleh horeka di daerah.
“Selain langkah-langkah tersebut, partisipasi masyarakat dalam menerapkan pola belanja yang bijak juga sangat diperlukan agar tidak terjadi kelangkaan bahan pokok yang dapat memicu kenaikan harga. Dengan berbagai upaya tersebut, kami optimistis inflasi di Bali akan tetap terjaga dalam kisaran target nasional sebesar 2,5 persen ± 1 persen pada 2025,” tambahnya.
Sidak oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) terhadap penjual takjil sekitar Masjid Baiturrahman, Kampung Jawa, Denpasar, Kamis (05/03/2025). tirto.id/Sandra Gisela
Daya Beli Masyarakat Bali
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, memprediksi bahwa proyeksi ekonomi dan daya beli masyarakat Bali tetap positif menjelang Nyepi dan Idulfitri.
Raka melihat tren tersebut dari pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan ketiga 2024 yang tumbuh sebesar 5,43 persen (YoY) dibandingkan periode sebelumnya. Sektor akomodasi, makan, dan minum pun mengalami pertumbuhan sebesar 12,25 persen (YoY).
Selain itu, Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) menunjukkan perkiraan peningkatan kegiatan usaha pada triwulan pertama 2025 dengan saldo bersih tertimbang (SBT) sebesar 34,55 persen. Peningkatan tersebut didorong oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang memasuki musim panen.
“Perayaan hari besar keagamaan ini juga turut mendorong konsumsi rumah tangga yang mencerminkan daya beli masyarakat yang tetap baik. Sektor perdagangan juga diuntungkan oleh hari besar keagamaan sehingga daya beli masyarakat Bali diperkirakan akan tetap kuat menjelang hari raya tersebut,” ucap Raka, Kamis (13/03/2025).
Mengenai peningkatan harga bahan pangan yang saat ini melanda Bali, Raka menilai hal tersebut disebabkan karena peningkatan permintaan barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok dan sarana upacara keagamaan.
Untuk menghadapi Nyepi, permintaan terhadap kebutuhan upacara, seperti bumbu dapur, daging babi, dan daging ayam, memang cenderung naik.
“Selain itu, faktor eksternal, seperti gangguan cuaca ekstrem, dapat menghambat produksi dan distribusi pangan sehingga mempengaruhi ketersediaan dan harga komoditas di pasar,” tambahnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi, Jro Gde Sudibya, menilai terjadi anomali dalam daya beli masyarakat menjelang dua hari raya esok. Umumnya, daya beli masyarakat akan meningkat menjelang hari raya, tetapi tahun ini justru tampak menurun secara nasional maupun lokal di Bali.
Sudibya mengamati bahwa deflasi yang terjadi selama 5 bulan beruntun telah menggerus daya beli masyarakat Bali. Kelompok kelas menengah banyak yang kehilangan pendapatan, bahkan terjun menjadi kelompok rentan.
Dari data statistik yang disampaikan oleh BPS, selama 5 tahun terakhir, angka kelas menengah berkurang sekitar 10 juta orang dengan 60 persennya merupakan pekerja sektor informal. Untungnya, pariwisata masih bisa menopang kehidupan masyarakat Bali.
“Penurunan daya beli di Bali tidaklah setajam dibandingkan dengan di Jawa. Ini akibat industri pariwisata yang terus bertumbuh, yang mendongkrak pendapatan masyarakat Bali, walaupun dia turun,” terang Sudibya, Kamis (13/03/2025).
Selain itu, Sudibya menilai bahwa produktivitas sektor pertanian juga mengalami penurunan akibat anomali musim (pergeseran musim dari rata-rata intensitas normalnya). Akibatnya, terjadi inflasi struktural yang disebabkan karena berkurangnya komoditas pertanian dan tingginya permintaan terhadap bahan-bahan pokok.
“Daya beli memang menurun. Pada saat yang bersamaan, komoditas tertentu, seperti cabai dan lain-lain yang sangat tergantung pada alam, mengalami kenaikan harga,” tambahnya.
Isu-isu nasional yang berkembang, seperti pendirian Danantara dan kasus-kasus korupsi, jugaturut memengaruhi perekonomian Bali. Faktor-faktor itu membuat pelaku usaha dan investor memilih untuk menunggu dan melihat situasi lebih dulu sebelum melakukan ekspansi usaha atau investasi.
Menurut Sudibya, kepercayaan masyarakat kepada sektor perbankan pun mengalami penurunan.
“Padahal, pada situasi saat ini, mereka seharusnya belanja atau investasi sehingga terjadi kesempatan kerja dan daya beli masyarakat naik. Sekarang enggak. Sayangnya, pemerintah juga tidak mengantisipasi itu dengan baik. Jaring pengaman sosial, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan lain-lain, tidak terlalu dengar sekarang,” ucap Sudibya.
Sudibya bahkan berkata bahwa tahun ini adalah perayaan Nyepi dan Idulfitri pertama dengan kelesuan ekonomi tertinggi dibandingkan saat Pandemi COVID-19. Pemprov Bali seharusnya lebih peka terhadap hal itu dan segera melakukan upaya untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
“Semestinya pemerintah mengambil emergency program. Mungkin jumlah BLT dan lain-lain itu mesti digelontorkan satu atau dua minggu sebelum lebaran,” ujarnya.
Langkah Antisipasi
TPID Kota Denpasar telah melakukan langkah untuk mengatasi lonjakan harga jelang Nyepi dan Idulfitri, yakni dengan mengadakan pasar murah di sejumlah titik. Pasar murah tersebut dijadwalkan hadir di tengah masyarakat pada 10 sampai 20 Maret 2025.
Lokasi pasar murah di Kota Denpasar itu berpindah-pindah, mulai dari Panjer, Dauh Puri Kauh, hingga ke Ubung.
Pasar murah tersebut menjual berbagai kebutuhan pokok, seperti beras, telur, gas elpiji, produk hortikultura, hingga bumbu dapur. Harga jual di pasar tersebut telah dipastikan lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasaran karena menerapkan harga eceran tertinggi (HET).
Misalnya, bawang putih dijual dengan harga Rp16.000 per 500 gram, bawang merah seharga Rp13.000 per 500 gram, serta cabai rawit seharga Rp17.500 per 250 gram.
Untuk beras, harga kualitas medium berkisar antara Rp14.000 hingga Rp14.200 per kilogram. Sementara itu, beras premium dihargai Rp15.000 per kilogram.
Raka dari Undiknas menilai bahwa pasar murah agaknya cukup efektif dalam menekan harga komoditas pangan dan meningkatkan daya beli masyarakat Bali. Dia mencontohkan pasar murah yang digelar Pemkab Buleleng mendapat respons positif dari warga.
“Inisiatif serupa di daerah lain juga menunjukkan bahwa bazar sembako murah dapat membantu menekan laju inflasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat saat permintaan meningkat,” jelas Raka.
Sementara itu, untuk menopang perekonomian, Pemprov Bali dapat mengambil beberapa inisiatif. Pertama, melakukan stabilisasi harga dan distribusi kebutuhan pokok dengan operasi pasar. Kedua, memantau harga dan ketersediaan barang di pasar untuk mencegah penimbunan dan lonjakan harga yang tidak wajar.
“Misalnya, Satgas Ketahanan Pangan dapat melakukan pemantauan harga komoditas pangan strategis di pasar tradisional dan distributor,” lanjut Raka.
Ketiga, mendorong konsumsi domestik melalui percepatan penyaluran bantuan sosial dan pemberian insentif ekonomi. Terakhir, memberikan insentif dan pelatihan bagi UMKM untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk lokal sehingga dapat memenuhi permintaan yang meningkat di periode hari raya.
Sudibya juga sepakat bahwa bazar murah yang digelar pemda-pemda di Bali dapat menekan laju inflasi dan mendongkrak daya beli masyarakat Bali yang tertekan. Terlebih, saat ini, dana transfer daerah dari pusat juga tengah mengalami efisiensi.
“Diperlukan itu untuk menekan laju inflasi di satu pihak. Di pihak lain, ini juga sedikit mempertahankan standard of living masyarakat kelas menengah yang terjun menjadi masyarakat kelas bawah,” imbuh Sudibya.
Meski begitu, menurut Sudibya, Pemprov Bali masih perlu mengeluarkan anggaran bulan sebelumnya untuk memperkuat jaring pengaman sosial atau melakukan tindakan lain untuk menopang daya beli masyarakat. Selain itu, Pemprov Bali juga dapat mendorong ekspansi kredit dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, koperasi, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
“Jadi, ada insentif untuk mendorong kredit lebih banyak di masa-masa sekarang,” pungkasnya.
tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Fadrik Aziz Firdausi