tirto.id - Desainnya sederhana, tetapi eye-catching. Fiturnya yang mudah dioperasikan membuat siapa pun, terutama para remaja, merasa nyaman dan percaya diri saat menggunakannya. Paket layanannya yang murah meriah membuat pelanggan dimudahkan untuk selalu terhubung.
Setiap sentuhannya membawa harapan baru, menghubungkan cerita dari berbagai sudut negeri, baik percakapan santai maupun urusan krusial. Di era ketika SMS dan panggilan telepon menjadi jembatan penghubung hubungan antar-teman dan keluarga, Esia membuka lembaran baru yang penuh kehangatan dan keceriaan.
Esia berhasil menjangkau lapisan masyarakat yang sebelumnya kesulitan mengakses komunikasi bergerak. Itulah yang menjadikannya sebagai ikon “handphone pertama sejuta umat”.
Namun, kejayaan Esia tidak berlangsung lama. Kenyamanannya mengukir sebuah era ketika komunikasi tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan semata, melainkan telah menjadi bagian dari identitas diri yang mampu menghadirkan nostalgia hingga hari ini.
Komunikasi untuk Semua
Pada 12 September 2003, PT Radio Telepon Indonesia (Ratelindo) mengumumkan transformasinya menjadi PT Bakrie Telecom, dengan meluncurkan layanan Esia. Transformasi nama ini tidak hanya menandai perubahan identitas perusahaan, tetapi juga menapaki era baru ketika telekomunikasi mulai mengejar inovasi yang sebelumnya terpaut jauh dari impian.
Tak lama berselang, PT Bakrie Telecom Tbk resmi menjadi perusahaan publik dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada Februari 2006. Initial Public Offering (IPO) itu memberikan modal tambahan bagi perusahaan untuk melebarkan sayap.
Esia lantas menelurkan dua produk utama yang sangat menjanjikan dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan komunikasi masyarakat. Dengan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) 2000 pada frekuensi 800 MHz, mereka hadir sebagai alternatif bagi masyarakat yang mendambakan layanan telekomunikasi seluler dengan biaya lebih terjangkau.
Produk pertamanya ialah EsiaHome, telepon rumah nirkabel pascabayar. Ia terintegrasi dengan jaringan FWA (Fixed Wireless Access) yang mengusung teknologi CDMA2000 1x. Teknologi tersebut dianggap canggih pada masanya meskipun memiliki keterbatasan dalam hal jangkauan dan fleksibilitas.
Yang kedua adalah EsiaCity, telepon seluler prabayar yang, meskipun memiliki jangkauan terbatas karena terkait dengan kode nomor, berhasil memberikan layanan komunikasi stabil di area-area tertentu.
Tak berselang lama sejak peluncurannya, Esia meraih popularitas yang luar biasa hingga akhirnya berhasil menggaet jutaan pelanggan.
Inovasi yang Mengguncang Pasar
Sejak awal, Esia dipasarkan sebagai pilihan terjangkau bagi masyarakat. Pada September 2004, mereka meluncurkan program “Gile Bener” bersama Nokia, kolaborasi strategis yang menjadikan ponsel CDMA itu sebagai jendela utama menuju era digital.
Dengan strategi bundling (bundelan), Esia menyuguhkan gawai yang sudah dipaketkan dengan kartu. Konsep ini menggemparkan masyarakat, yang saat itu baru mengenal teknologi ponsel genggam sebagai keperluan wajib.
Di masa tersebut, masih banyak kalangan yang belum pernah menyentuh teknologi nirkabel. Namun, melalui program garapan Esia dan Nokia, mereka dengan mudah terlibat dan merasakan evolusi komunikasi.
Kesuksesan dari strategi pemasaran yang pertama memantik Esia untuk menerbitkan edisi kedua, dengan nama serupa. Hasilnya pun tak kalah sukses. Mereka bahkan berani mengekspansi pasar dan menggandeng vendor ponsel lain, seperti Motorola, Sanex, Alcomm, Modotel, dan Verxion, melalui paket “Rumpi Abis”.
Program promosi menarik lainnya ialah “Esia Gratis Nelpon Nasional (Ganas)” yang diluncurkan pada awal Februari 2010. Program tersebut menawarkan gratis telepon ke sesama pelanggan Esia di seluruh Indonesia selama 30 hari, hanya dengan syarat melakukan isi ulang minimal Rp 25 ribu. Keberhasilan program tersebut terlihat dari peningkatan jumlah pelanggan Esia yang mencapai 13 juta pada akhir 2010.
Enggan terlena dengan urusan telepon genggam, Esia memperkuat posisinya di pasar kartu perdana. Pada Mei 2011, mereka meluncurkan kartu SP Esia Kuat. Iming-imingnya adalah tarif murah untuk panggilan ke operator lain, dengan kualitas jaringan yang diklaim lebih baik.
Sebenarnya, sebelum program-program tersebut, pada 2007, Esia sudah memosisikan diri sebagai penyedia jaringan dengan tarif lebih rendah dibandingkan operator CDMA lainnya, seperti Flexi, Fren, dan StarOne. Strategi harga dan pemasaran yang agresif itulah yang menjadi kunci keberhasilan awal Esia dalam menjangkau konsumen.
Ilustrasi HP Esia. foto/Esia
Daya tawar Esia tidak berhenti di situ. Bertepatan dengan Ramadhan 2008, mereka melahirkan varian produk yang unik. Apa lagi kalau bukan Esia Hidayah, "ponsel islami" yang dilengkapi aplikasi Al-Qur'an 30 juz beserta terjemahannya, pengingat waktu salat (AdzanCell), penghitung zikir, kumpulan hadis, ceramah, hingga kabar muslim.
“Niat kami meluncurkan Hape Esia Hidayah sebagai upaya untuk menjadikan teknologi sebagai bagian dari gaya hidup yang memiliki nilai-nilai religius dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat,” tutur Erik Meijer, Deputy Chief Executive Officer Esia saat itu, dikutip dari Kontan.
Produk Esia Online juga tak kalah menggemparkan. Beberapa model Esia Online, seperti Huawei C6100, bahkan dilengkapi dengan keyboard QWERTY, menjadikannya pilihan menarik bagi pengguna yang aktif dalam berkirim pesan.
Fitur unggulan dari Esia Online adalah kemampuannya untuk menggunakan nomor telepon Esia sebagai PIN, yang fungsinya mirip dengan aplikasi pesan instan BlackBerry Messenger. HP ini juga dilengkapi dengan berbagai aplikasi populer, seperti Facebook, Yahoo Messenger, Google Talk, Opera Mini. Bahkan, perangkat tersebut bisa dijadikan sebagai modem internet!
Ada banyak produk unik lainnya yang dipasarkan oleh Esia, seperti Esia Kasih (untuk umat Kristiani), Esia Merdeka (dengan tema kemerdekaan), Esia Slank (hasil kerja sama dengan grup band Slank), Esia Starlight, Esia Music Box, dan Esia Gayaku FM.
Keberagaman produk dan fitur tersebut menunjukkan upaya Esia untuk menjangkau berbagai lapisan masyarakat dengan minat dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Kisah sukses Esia mencapai puncaknya pada 2011, ketika jumlah penggunanya mencapai 14,64 juta. Angka tersebut tidak hanya menunjukkan dominasinya di pasar, tetapi juga membuktikan bahwa mereka pernah menjadi pionir yang membuka jalan bagi revolusi digital di Indonesia.
Di tengah persaingan yang makin ketat, Esia berhasil menciptakan identitas kuat sebagai “hape esia” yang begitu melekat di ingatan banyak orang. Tapi, Esia tak lagi bertaji menghadapi pemain besar, baik sebagai produsen perangkat keras maupun operator.
Era Digital yang Mengubah Segalanya
Namun, sebagaimana pepatah mengatakan “naik tak selamanya, turun tak selamanya”, masa keemasan Esia harus menghadapi kenyataan pahit di tengah pergeseran tren teknologi global.
Tahun 2012 menjadi titik balik ketika gambaran pasar telekomunikasi mulai berubah drastis. Dominasi CDMA mulai tergeser oleh ke Global System for Mobile Communications (GSM), yang menawarkan kecepatan data lebih tinggi dan ketersediaan perangkat lebih beragam.
Seturut data Buletin Pos dan Telekomunikasi, operator GSM seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata, makin menggurita dengan jumlah pelanggan jauh lebih besar. Esia kesusahan menyamai popularitas mereka.
Di sisi lain, dampak revolusi internet pun mulai terasa. Masyarakat beranjak meninggalkan pola komunikasi tradisional berupa panggilan dan SMS. Mereka mulai beralih ke aplikasi komunikasi daring dengan konektivitas berbasis internet.
Teknologi GSM tidak hanya menawarkan jangkauan lebih luas, tetapi juga mengakomodasi layanan data yang lebih advanced. Perubahan selera masyarakat ini membuat Esia, yang masih bergantung pada teknologi CDMA, mulai kehilangan relevansi di pasar.
Esia sebenarnya telah berupaya keras. Mereka mengerahkan berbagai upaya adaptasi. Salah satunya adalah dengan mengganti nama perusahaan menjadi PT Esia Telekomunikasi Indonesia (EsiaTel), sebagai simbol transformasinya agar selaras dengan tuntutan zaman.
Tak berhenti di situ. Esia juga meluncurkan produk berbasis Android sebagai upaya mengejar ketertinggalan teknologi perangkat pintar. Pada awal 2012, Esia mulai menyadari pentingnya layanan data dengan meluncurkan kartu perdana SP Esia Aha Evdo. Kecepatan datanya diklaim mampu mencapai 3,1 Mbps, menggunakan teknologi CDMA Evdo.
Menjelang 2013, napas Esia mulai ngos-ngosan. Tapi, mereka masih punya senjata pemungkas. Pada November 2012, Esia, melalui layanan Esia Max-D, meluncurkan telepon pintar Android yang diklaim sebagai yang “terlebar dan termurah”.Lalu, Juli 2013, mereka merilis produk kedua bernama Esia MAXtouch 5.3, dengan layar 5,3 inci dan prosesor dual core 1,2 GHz.
Sayangnya, senjata itu melempem di hadapan pasar para raksasa. Mereka gagal mengembalikan era kejayaannya.
Jatuhnya Mahkota Lokal
Memasuki 2013, Esia perlahan-lahan mengalami penurunan tajam dalam jumlah pengguna. Persaingan yang ketat bukan satu-satunya faktor. Kegagalan dalam memprediksi perubahan pasar juga menjadi batu sandungan yang sulit diatasi.
Pengguna setianya mulai beralih ke penyedia layanan lain, yang menawarkan konektivitas lebih cepat, harga lebih kompetitif, dan pelayanan yang sesuai dengan gaya hidup digital.
Seiring waktu, penurunan jumlah pelanggan makin drastis, hingga Esia akhirnya tersapu arus modernisasi dan inovasi yang menguasai pasar. Pada 2012, total pelanggan Esia tercatat sekitar 12 juta, dengan hanya 400 ribu pelanggan yang menggunakan layanan data. Pada September 2013, jumlah pelanggan kembali menurun menjadi 11,44 juta.
Memasuki medio 2010-an, kejatuhan Esia makin mendalam. Momen itu ditandai dengan putusnya kerja sama strategis dengan Smartfren—salah satu pemain kuat dalam industri telekomunikasi. Kejadian tersebut menjadi pukulan berat yang membuat Esia makin tersisih dari radar.
Pada awal 2016, Esia secara resmi menghentikan seluruh layanan CDMA-nya di seluruh Indonesia, kecuali Jakarta. Pelanggan Esia pun diminta untuk beralih ke Smartfren jika ingin terus menggunakan layanan telekomunikasi.
Di masa itu, Bakrie Telecom masih mempertahankan merek Esia, bahkan mencoba fokus pada bisnis 4G dan produk digital, termasuk aplikasi messenger EsiaTalk. Namun, secara efektif, merek Esia telah menghilang dari pasar sebagai penyedia layanan telekomunikasi seluler.
Kondisi keuangan PT Bakrie Telecom Tbk juga terus memburuk. Kerugian yang mereka pikul terus meningkat, hingga akhirnya sahamnya dikeluarkan (delisting) dari Bursa Efek Indonesia.
Pada 2023, nama Esia tinggal menjadi kenangan. Kini, Esia terkenang sebagai masa lalu yang manis di ingatan banyak orang, terutama yang pernah merasakan murah meriahnya “hape esia”. Era komunikasi itu tetap hidup sebagai simbol masa remaja yang penuh semangat dan inovasi.
tirto.id - Teknologi
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin