tirto.id - Kementerian Sosial dengan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) tengah melakukan proses pengusulan tokoh yang layak diberikan gelar Pahlawan Nasional oleh negara. Dari 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025, empat di antaranya sebagai usulan baru, sedangkan enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.
Empat nama baru yang diusulkan tahun ini, yaitu Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Midian Sirait (Sumatera Utara), dan Yusuf Hasim (Jawa Timur). Sedangkan tokoh yang kembali diusulkan, antara lain Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Soeharto (Jawa Tengah), Bisri Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).
Dari enam nama yang diajukan kembali, terdapat nama yang menarik masuk dalam daftar usulan Pahlawan Nasional di tahun ini, yaitu Jenderal Soeharto (Jawa Tengah), yang merupakan Mantan Presiden Republik Indonesia yang menjabat selama 31 tahun dua bulan, melebihi presiden lainnya di Indonesia.
Masuknya kembali Soeharto dalam daftar Pahlawan Nasional ini, tentu saja menimbulkan reaksi keras dari dikalangan masyarakat sipil. Apalagi pencalonannya bukan kali pertama masukkan. Jika hari ini kemudian nama Soeharto masuk kembali sebagai daftar Pahlawan Nasional, maka kita patut mempertanyakan kembali bagaimana komitmen pemerintah dalam mengedepankan hukum, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Tapi sayangnya, komitmen di atas sudah terjawab dengan sikap pemerintah hari ini. Pemerintah kini seolah memaksakan dan mendukung pencalonan nama Soeharto. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, bahkan menilai bahwa hal tersebut sebagai usulan yang positif. Menurut politikus Partai Gerindra itu, Presiden RI sudah sewajarnya mendapatkan gelar pahlawan nasional.
"Usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Soeharto saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara," ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (21/4/2025).
Prasetyo Hadi berjalan saat dipanggil Presiden Prabowo Subianto dalam pengumuman jajaran menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (20/10/2024) ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/app/Spt.
Prasetyo meminta masyarakat Indonesia tak hanya menilai Soeharto dari kekurangannya, tapi juga prestasinya. "Jangan selalu melihat yang kurangnya, kita lihat prestasinya. Sebagaimana Bapak Presiden selalu menyampaikan bahwa kita itu bisa sampai di sini karena prestasi para pendahulu kita," tutur dia.
Sikap Hadi tersebut, seolah merepresentasikan atasannya dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto. Meski belum ada sikap resmi dari Kepala Negara, namun Prabowo diketahui pernah berencana mengupayakan gelar pahlawan bagi Soeharto. Hal ini sempat disampaikannya saat menjadi kontestan Pilpres 2014. Kala itu, Prabowo maju sebagai capres nomor urut 1. Dia menegaskan wacana ini tidak ada sangkut pautnya terhadap hubungannya dengan Siti Hediati alias Titiek Soeharto, putri Soeharto.
Jika ditarik mundur lagi, wacana pemberian gelar pahlawan pada Soeharto bahkan sudah muncul beberapa hari setelah Sang Jenderal wafat. Ahad, 28 Januari 2008, Soeharto mangkat ke haribaan Tuhan setelah berjibaku dalam sakit selama 24 hari. Sebanyak 40 dokter khusus yang bekerja selama 24 jam merawat Soeharto, turut merampungkan tugas.
Selang beberapa hari setelah Soeharto wafat, usul gelar pahlawan langsung berhembus dari Senayan. Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu, Priyo Budi Santoso,, yang punya usul. Tidak tanggung-tanggung, Priyo meminta masyarakat Indonesia memaafkan Soeharto. Usulan itu layu karena banyak penolakan dari Fraksi lain di DPR dan masyarakat.
Usulan untuk menyematkan gelar pahlawan pada Soeharto kembali muncul pada 2010. Gelar itu sempat dipertimbangkan Dewan Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan yang baru saja diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, penyematan pahlawan tidak jadi dilakukan.
Selanjutnya pada 2016, usulan menganugerahkan gelar pahlawan ke Soeharto kembali diupayakan Golkar. Bahkan, pengajuan ini menjadi salah satu keputusan Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar. Sempat masuk pertimbangan di Kementerian Sosial, usulan ini menemui kebuntuan. Namun, usulan itu kini kembali dihidupkan.
Melukai Ingatan Kolektif Korban
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, menilai usulan kembali untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah langkah yang bermasalah dan ahistoris. Menteri Sekretaris Negara seharusnya tidak lupa akan sejarah bahwa selama 32 tahun menjabat sebagai presiden, Soeharto memimpin dengan tangan besi melalui rezim Orde Baru yang penuh dengan pelanggaran HAM, pengekangan kebebasan sipil, dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Pemerintahannya kan ditandai oleh kekerasan sistematis terhadap warga sipil, pembredelan media massa, pelanggaran HAM berat, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur dan meluas,” ujar Usman kepada Tirto, Selasa (22/4/2025).
Pengusulan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, lanjut Usman, tentu akan melukai ingatan kolektif korban dan keluarganya dan merupakan upaya penghapusan atau pemutihan babak sejarah kelam bangsa ini. Gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada mereka yang memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan, bukan kepada sosok yang bertanggung jawab atas berbagai kejahatan terhadap nilai-nilai tersebut.
Alih-alih mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan, pemerintah seharusnya fokus menunaikan komitmen untuk mengusut berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di era Soeharto yang telah diakui negara lewat Presiden Jokowi pada Januari 2023. Apalagi hingga kini kan belum ada proses hukum yang tuntas atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut, begitu pula pemulihan hak-hak korban yang belum dipenuhi secara bermakna.
“Intinya, pemerintah tidak seharusnya mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional,” pungkas dia.
Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, mengatakan masuknya Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tentu menjadi catatan merah, terutama untuk mengeluarkan nama tersebut dari daftar Pahlawan nasional. Terlebih Soeharto memiliki rekam jejak yang terkenal penuh dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Jasa Soeharto di bidang militer tentu harus dinilai bersamaan dengan serangkaian tindakan represif dan kesewenang-wenangan yang dilakukan saat menjadi presiden, juga sebaliknya,” tutur Intan dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (22/4/2025).
Intan menyadari bahwa meski tak ada manusia yang sempurna, Kementerian Sosial, TP2GP, dan Presiden Prabowo seharusnya mampu menilai secara objektif dampak pemerintahan Soeharto terhadap rakyat, pemerintahan, dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, standar gelar Pahlawan Nasional harus dikaji ulang, sebab seorang pahlawan tidak pantas dinodai oleh pelanggaran HAM dan hukum dengan alasan apa pun.
“Indonesia yang kita tinggali saat ini adalah negara yang berdasarkan hukum, menjamin HAM rakyatnya, juga berkedaulatan rakyat. Dengan demikian, menjadi masuk akal untuk Presiden Soeharto tidak dilanjutkan pencalonannya sebagai Pahlawan Nasional karena masa kepresidenannya berseberangan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia saat ini,” jelas dia.
Pelanggaran Berat di Zaman Soeharto
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) yang merupakan koalisi masyarakat sipil terdiri dari keluarga korban pelanggaran berat HAM, organisasi masyarakat sipil, dan individu, ikut mengecam dan mendesak agar Menteri Sosial hingga Dewan Gelar Pahlawan, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan untuk tidak mengusulkan nama Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Penolakan ini bukan dilandaskan pada upaya mencari-cari kekurangan Soeharto secara personal, melainkan berdasarkan fakta dan rekam jejak kelam Soeharto selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia yang sarat dengan kejahatan kemanusiaan, pelanggaran HAM berat, penyalahgunaan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sistematis, serta tidak memberikan keadilan bagi para korban hingga detik ini.
“Soeharto diklaim dan digadang-gadangkan sebagai Bapak Pembangunan, padahal dalam kenyataannya pembangunan infrastruktur maupun ekonomi hanyalah sebuah kamuflase untuk menjadikannya ladang praktik korupsi untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya,” ujar Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Jane Rosalina, kepada Tirto, Selasa (22/4/2025).
Soeharto juga pernah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus penyalahgunaan dana atas yayasan sosial yang didirikannya pada 31 Maret 2000 dan ditetapkan sebagai terdakwa pada 3 Agustus 2000. Tidak pernah dipidananya Soeharto tidak membuktikan bahwa ia tidak bersalah, melainkan karena peradilannya dihentikan pada 2006 akibat kondisi kesehatan yang memburuk.
“Pun, hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa ia telah melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme selama 32 tahun ia menjabat sebagai Presiden,” sebut Jane.
Bahkan, Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup di dunia pada abad ke-20. Soeharto menduduki peringkat pertama dengan jumlah aset yang dikorupsinya sebesar 15-35 miliar dolar AS.
Presiden Soeharto. FOTO/AP Photo
Kini Negara justru ingin memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden terkorup abad ke-20. Hal ini semakin ironis mengingat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 25 September 2024 justru telah menghapus nama Soeharto dari Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 yang selama ini menjadi rujukan moral bangsa dalam melawan praktik KKN. Keputusan tersebut mencederai semangat reformasi dan melemahkan komitmen pemberantasan korupsi.
“Soeharto bukan hanya simbol kediktatoran militer, tetapi juga salah satu aktor utama dalam praktik sistematis impunitas, pembungkaman, dan kekerasan Negara terhadap rakyatnya sendiri. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto hanya akan melegitimasi kekuasaan yang dibangun di atas darah dan air mata korban,” jelas dia.
Maka, berdasarkan rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto tersebut, KontraS menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Wacana ini merupakan bentuk nyata dari lupa dan pengingkaran sejarah oleh Negara terhadap penderitaan jutaan korban kekerasan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi selama masa Orde Baru.
“Memberikan penghargaan kepada Soeharto adalah penghinaan terhadap nilai-nilai reformasi, perjuangan demokrasi, dan cita-cita keadilan sosial bangsa ini. Hal ini tidak hanya tidak etis, tetapi juga sangat menyakitkan dan merendahkan martabat para korban dan masa depan generasi yang akan datang,” kata Jane.
Pada akhirnya, jika pada saat tulisan ini dibaca publik dan Soeharto tidak dilanjutkan dalam daftar Pahlawan Nasional, maka pemerintah telah berhasil menjaga marwah bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi hukum, demokrasi, dan HAM. Sinyal bahwa negara berkomitmen untuk terus memperjuangkan nilai-nilai ini juga menjadi selangkah lebih jelas di masyarakat.
Namun, jika ternyata nama ini berlanjut, maka masyarakat berhak untuk mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mengedepankan hukum, demokrasi, dan HAM. Hal ini akan menjadi sinyal buruk dari pemerintah dan menjadi bensin yang akan memperbesar api kemarahan masyarakat sipil. Apalagi, di tengah maraknya gesekan yang disebabkan banyaknya polemik kebijakan dan tindakan pemerintah, serta legislasi yang tidak mencerminkan transparansi, partisipasi, penegakan hukum, demokrasi, dan HAM.
tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang