Ketika Che Guevara Melawat ke Indonesia

9 hours ago 2

tirto.id - Tahun baru 1959, sorak sorai gerilyawan menggemakan seisi Kota Havana, Kuba. Bukan lantaran semarak tahun baru, melainkan perayaan kemenangan kaum revolusioner Kuba atas rezim diktator Fulgencio Batista.

Tibanya hari yang ditunggu-tunggu itu bagai gayung bersambut. Tanggal 3 Januari, ratusan gerilyawan revolusioner La Cabaña berhasil menghelat pengadilan terbuka. Agendanya, menghukum secara paksa para penyiksa, penjahat, dan pembunuh di bawah rezim Batista.

Di lain sisi, komandan militer La Cabaña yang akrab dipanggil “Che” itu akhirnya dapat menelentangkan punggung dan merebahkan tubuhnya. Di antara belasan tenda kamp medis, ia terlihat senyum-senyum sumringah, tak sabar menunggu sahabat sekaligus pemimpin gerakan revolusi mereka, Fidel Castro, pulang dari Santiago de Cuba usai sukses merebut Moncada.

Menukil catatan Richard L. Harris dalam Che Guevara: A Biography (2010), Che tak pernah menyangka dirinya akan menjadi bagian penting dari Revolusi Kuba 1959. Padahal, tiga tahun sebelumnya, pemuda Argentina itu masih berpetualang “tidak jelas” ke berbagai daratan Amerika Selatan mengendarai La Poderosa ‘si Perkasa’, nama alias Norton 500 tunggangannya.

Kelak, kelananya mengendarai La Poderosa bersama sahabatnya, Alberto Granado, ia tuangkan dalam buku The Motorcycle Diaries (1992), yang kemudian diadaptasi menjadi film berjudul sama.

Namun, semenjak pertemuannya dengan Fidel Castro di Havana, Che merasa bahwa di sinilah takdir revolusionernya berhulu.

Nama aslinya Ernesto Guevara de La Serna. Berasal dari Rosario Argentina, tetapi dengan cepat menjadi salah satu “orang asing” kepercayaan Fidel Castro, atau malah lebih sebagai sosok dambaan publik Kuba. Ketika perayaan kemenangan revolusi, ia juga memiliki tempat yang setara dengan Fidel Castro: dipuja-puja oleh hampir seluruh masyarakat Kuba.

Saat revolusi bersemi, Che adalah salah satu dari tiga pemimpin paling berkuasa dalam pemerintahan baru Kuba, di samping Fidel Castro dan adiknya, Raul Castro.

Selain menjadi komandan militer, ia juru bicara yang sangat cakap dan banyak akal. Seruan kata-katanya bak kobaran api yang menyalak-nyalak.

"Hasta la victoria siempre! (Sampai kemenangan abadi menanti!)" Begitu ia pernah berbisik kepada Julia Cortez, guru sekolah terluar di Bolivia. Sebab itulah, mata Julia terpana memandang gerilyawan itu, sekalipun ia merupakan tawanan perang negaranya.

Tetapi yang terpenting, menurut Castro dalam kenangannya, Che: A Memoir (1994), Che adalah negarawan yang tak pernah memiliki ambisi politik pribadi. Karena itulah, Castro, dengan kesadaran mantap, segera mempercayakan Che sebagai motor penggerak kampanye politiknya.

Setelah berhasil merebut kuasa, Castro langsung menempatkan Che di salah satu posisi kepemimpinan terpenting dalam rezim revolusioner baru. Che menjadi presiden Central Bank of Cuba, juga diplomat istimewa.

Lantaran menerima mandat sebagai salah satu pejabat rezim Fidel Castro, Che menanggalkan kewarganegaraan Argentinanya, lantas resmi menjadi warga negara Kuba.

Melancong ke Indonesia: Misi Awal Sang Delegasi Kuba

Sebagai sebuah rezim yang baru saja melakukan revolusi, Fidel Castro merasa, Kuba perlu mengampanyekan diplomasi politik. Galangan dan dukungan internasional segera disusun. Delegasi disiapkan menuju negara-negara dengan haluan politik dan ideologi yang selaras.

Ini adalah misi yang cocok diberikan kepada Ernesto Guevara. Selain kecakapan komunikasi, Che memang terkenal hobi melancong ke berbagai penjuru dunia.

Pada medio 1959, Che memimpin delegasi Kuba dan terbang menuju ke berbagai negara di Asia, Eropa, dan Afrika, selama dua bulan.

Bulan Juli hingga Agustus, Che berada di Indonesia. Selama rentang waktu itu, ia melakukan rentetan kunjungan, bertemu tokoh-tokoh politik, serta tertangkap momen mengunjungi berbagai tempat penuh kesan.

Indonesia menjadi salah satu tujuan Kuba lantaran beberapa tahun sebelumnya, pemerintahannya mampu menarik perhatian dunia. Tahun 1955, Sukarno berhasil menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung dengan moto: menolak segala bentuk imperialisme dan kapitalisme global.

Mengenakan seragam militer lengkap dengan baret hijaunya, Che disambut langsung oleh Sukarno ketika tiba di Indonesia. Istana Merdeka menjadi saksi hangatnya pertemuan dua negarawan besar. Diskusi-diskusi perjuangan kemerdekaan bersahutan saling berpadu padan.

Historial.id mengungkap, Sukarno turut memaparkan konsep Marhaenisme saat keduanya saling mengobral ramu.

Kepada Che, Sukarno menyatakan, “Ia [perubahan sejarah] harus menjebol, memporak-porandakan. Dan, dari situasi porak-poranda itu kita membangun yang baru, masyarakat yang terhormat dan memanusiakan manusia.”

Dari pertemuan itu, terjalin hubungan bilateral antara Kuba dan Indonesia. Kerja samanya difokuskan pada proyek kesehatan dan olahraga.

Delegasi Kuba itu tak memiliki banyak waktu di Indonesia. Rangkaian jadwal kunjungan ia jalani hampir tanpa jeda. Sebab, tak berselang lama dari Jakarta, ia bertolak ke Yogyakarta.

Tanggal 31 Juli, ia sudah berada di Gedung Agung Yogyakarta. Berjalan beriringan bersama Sultan Hamengkubuwono IX, ia berkeliling kota, melihat-lihat kompleks kesultanan.

Lagi-lagi, pertemuan dengan Che tak pernah luput akan bahasan perjuangan rakyat. Baginya, perjuangan dan revolusi memerlukan medium laksana pemupuk.

Che dikenal dengan kampanyenya lewat cerutu, yang tak pernah lekang mengebas mulut. Seolah telah melekat cirikan persona khasnya.

Belum lama ia menyambangi Sultan di kompleks keraton, Che kembali bertamu ke pelabuhan selanjutnya. Pabrik cerutu tertua di Asia Tenggara, N.V. Negresco jadi sasaran kedua.

N.V. Negresco telah beroperasi sejak 1918, tetapi kemudian berganti nama menjadi Taru Martani pada 1972 oleh Hamengkubuwono IX. Taru artinya ‘daun’, sedangkan martani ialah ‘menghidupi’. Harapannya, pabrik ini menjadi perusahaan tembakau yang dapat memberi penghidupan kepada manusia.

Kenangan Che menyambangi Taru Martani dapat terlihat jelas pada foto-foto yang dipigura di salah satu ruang kafe, yang berada satu kompleks dengan pabrik. Foto lebih besar terpampang di lorong gedung, mengabadi bersama harum tembakau.

FOTO HL CerutuErnesto Che Guevara menghisap cerutu saat wawancara ekslusif di ruangan kerjanya, 1963. FOTO/Rene Burri/Magnum Photos

Kunjungan itu disambut dengan riang gembira. Taru Martani mengeluarkan edisi eksklusif cerutu bertajuk “ERNESTO”. Che membawa pulang oleh-oleh cerutu yang dibuat khusus untuknya.

Kini, “ERNESTO” telah diperjualbelikan dengan bebas. Satu bungkus berisi tiga batang berukuran sedang, dengan desain simbol singa kuning bermahkota, berlatar warna merah bulat.

Sensasinya cukup nikmat dan dalam. Rasa creamy dari fermentasi tembakau pilihan menghasilkan aroma halus dengan tarikan yang berani, bak merepresentasikan semangat revolusi Che.

Belum berhenti dari Yogyakarta, Che langsung tancap gas menuju pendaratan terakhir. Tak lengkap apabila lawatannya tak disertai liburan, pikirnya.

Saat melancong, Che kerap membawa kamera kesayangannya, Nikon S2 (buatan Soviet). Kamera itu adalah peranti yang selalu menemaninya sejak 1950-an bekerja sebagai fotografer di surat kabar Meksiko, Agencia Latina.

Di sore hari yang hangat, Che bersama delegasi Kuba lainnya memutari kompleks Candi Borobudur, Magelang. Ia kedapatan memotret sana-sini dengan Nikon S2 di kedua tangannya.

Perjumpaan Che dengan Indonesia tak berhenti di situ saja. Setahun setelahnya, 13 Mei 1960, Sukarno melakukan balasan ke Kuba. Kali ini bukan hanya Che yang menyambut, tetapi juga pemimpin Kuba, Fidel Castro.

48 tahun kemudian, pada 2008, potret Sukarno, Fidel Castro, dan Che Guevara, di bandara Jose Marti, Havana, diperingati sebagai momen bersejarah. PT Pos Indonesia mencetak perangko khusus yang membingkai ketiga tokoh tersebut.

Tujuh tahun setelah kunjungannya ke Indonesia, Che kembali mengobarkan panji revolusinya. Bersama para gerilyawan lain, ia berusaha membebaskan Bolivia dari pengaruh Kapitalisme Amerika Serikat.

Nahas, ia tertangkap oleh CIA dan dieksekusi mati di Teluk Babi, La Higuera. Che Guevara meninggal di usia yang relatif muda, 39 tahun.


tirto.id - News

Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |