Menakar Ide Sentralisasi Tata Kelola Guru di Revisi UU Sisdiknas

5 hours ago 5

tirto.id - Pemerintah mewacanakan agar tata kelola keguruan ditangani secara terpusat. Usulan itumengemuka seiring dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Seturut pemberitaan Antara, wacana itu dilontarkan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat. Secara lebih rinci, Atip menyatakan kementeriannya menyodorkan tiga alternatif perubahan tata kelola guru dalam revisi UU Sisdiknas yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2024-2029.

Alternatif perubahan pertama, pengelolaan guru (pengadaan rekrutmen dan penempatan guru ASN) dilakukan secara terpusat. Alternatif perubahan kedua, pengelolaan guru seluruhnya oleh pemerintah pusat.

“Alternatif ketiga perubahan pengelolaan guru dari segi pengadaan, yakni perencanaan, distribusi, rekrutmen, dan penempatan guru ASN dilakukan secara terpusat,” ujar Atip dalam Rapat Dengar Pendapat Panja RUU tentang Sisdiknas, Rabu (5/3/2025).

Atip meyakini bahwa tiga alternatif tersebut dapat menjadi solusi permasalahan tata kelola guru di Indonesia. Menurutnya, ada sejumlah permasalahan yang selama ini membayangi tata kelola guru, salah satunya tidak setaranya jumlah pengangkatan guru baru untuk menggantikan jumlah guru pensiun yang setiap tahun rata-rata mencapai 60 ribu orang.

Selanjutnya, tidak optimalnya kebutuhan guru yang berasal dari rekrutmen guru ASN/PPPK karena pemerintah daerah belum maksimal dalam mengajukan formasi PPPK guru serta pemerintah melakukan moratorium pengangkatan ASN.

Terakhir, permasalahan pengelolaan guru oleh pemerintah kabupaten/kota yang bersifat struktural politik.

Selama ini, mengacu pada UU Otonomi Daerah, kewenangan untuk mengelola urusan keguruan dari level PAUD hingga SMP serta sekolah luar biasa (SLB) dipegang oleh pemerintah kabupaten/kota. Sementara itu, urusan keguruan di level SMA/SMK dikelola oleh pemerintah provinsi.

Bak gayung bersambut, DPR RI tampak memberi angin pada wacana resentralisasi tata kelola guru tersebut. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, turut mengusulkan agar tata kelola guru nasional ditangani oleh pemerintah pusat.

"Kita usulkan sentralisasi tata kelola guru nasional. Pemerintah pusat yang akan mengurus guru. Bukan pemerintah daerah lagi," kata Lalu dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Kamis (13/3/2025).

Politikus PKB itu juga mengatakan bahwa revisi UU Sisdiknas akan mengakomodasi soal pengelolaan seluruh proses rekrutmen, pengangkatan, distribusi, penentuan karier, hingga pembayaran gaji dan tunjangan guru.

"Semua urusan guru akan diambil alih pemerintah pusat. Usulan ini sudah dikaji secara matang," katanya.

Lalu menilai bahwa desentralisasi tata kelola guru selama ini dinilai kurang efektif. Salah satu ekses dari kebijakan itu adalah politisasi guru. Bahkan, dia menyebut bahwa guru-guru di daerah dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Selain itu, kebijakan desentralisasi tata kelola guru menimbulkan disparitas persebaran guru, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pasalnya, banyak guru yang enggan mengajar di daerah pelosok.

"Jika tata kelola guru nasional diambil alih pemerintahan pusat, maka guru akan didistribusikan secara merata di seluruh Indonesia. Diharapkan tidak ada lagi daerah yang kekurangan guru," kata Lalu.

Pusat Harus Punya Kewenangan Lebih

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, sepakat dengan usulan tata kelola guru dilakukan secara terpusat oleh Kemendikdasmen. Menurutnya, desentralisasi kewenangan pendidikan ke pemerintah daerah yang telah berjalan selama ini belum mencapai apa yang diharapkan.

Dia mencontohkan, selama ini, terjadi saling lempar pendapat antara pemerintah pusat dan pemda soal penyelesaian permasalahan guru honorer di daerah. Pusat sering kali abai dan hanya membebankan urusan itu ke pemda. Sementara itu, dalam beberapa kasus, pemda tidak mampu menyelesaikan permasalahan guru honorer tersebut.

“Letak kelemahan pengelolaan pendidikan di pemerintah daerah itu seakan-akan membuat pusat tidak punya kewenangan untuk mewajibkan pemerintah daerah atau memberikan sanksi jika tidak menjalankan agenda pendidikan. Kemendikdasmen itu seakan jadi tidak punya kekuatan untuk mewujudkan amanat Undang-Undang,” kata Ubaid saat dihubungi Tirto, Jumat (14/3/2025).

Meski begitu, Ubaid memberi catatan bahwa permasalahan pengelolaan pendidikan dan tata kelola guru tidak akan serta-merta selesai dengan kebijakan sentralisasi itu. Menurutnya, hal yang terpenting dari sentralisasi itu adalah bagaimana Kemendikdasmen memiliki kewenangan penuh untuk mewujudkan agenda pendidikan.

“Selama ini, gubernur, kepala daerah, atau dinas pendidikan itu lebih taat sama Kementerian Dalam Negeri daripada menjalankan agenda Kemendikdasmen. Karena, mereka langsung koordinasi sama Kemendagri. Pola relasi yang timpang ini menjadi masalah,” ujar Ubaid.

Dia menambahkan bahwa sentralisasi tata kelola pendidikan juga tak lepas dari sejumlah tantangan. Sentralisasi tidak boleh dimaknai bahwa semua urusan pendidikan harus mengikuti kata pusat. Ia harus tetap membuka ruang bagi suara pemda dan masyarakat sipil.

“Jadi, sentralisasi bukan kemudian tidak mendengar lagi pemerintah daerah, tidak mendengar lagi masyarakat sipil, tapi bagaimana pemerintah pusat ini menjadi leading sector untuk bisa menjalankan atau punya kewajiban penuh untuk memerintahkan pemerintah daerah untuk urusan pendidikan,” ujarnya.

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, juga memandang positif usulan agar tata kelola guru dilakukan secara terpusat.

Menurutnya, selain terdapat kendala tata kelola di daerah, sentralisasi tata kelola guru juga bisa meminimalisir praktik politisasi guru yang menjadikan karir mereka terhambat, tidak jelas, bahkan memperoleh ketidakadilan dan diskriminasi.

“Ada dilema guru di daerah. Apakah mereka harus mengikuti kemauan pemerintah daerah yang kerap politis dan dampak politiknya jelas ataukah mengikuti pusat,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (14/3/2025).

Edi menjelaskan bahwa problem utama soal tata kelola guru memang terkait dengan tiadanya kekuatan pusat untuk mengelola guru di daerah dengan baik, terutama terkait pengembangan kompetensi, karir, dan distribusi guru.

Dia berpendapat bahwa hulu dari permasalahan itu adalah ego sektoral antardaerah dan juga sentimen politis yang banyak merugikan guru dan dunia pendidikan pada umumnya.

“Ini masalah yang paling bisa diatasi dengan usulan revisi UU Sisdiknas tersebut yang menarik urusan guru menjadi urusan pusat, bukan daerah,” kata Edi.

Meski begitu, jika kebijakan sentralisasi benar dilakukan, beberapa hal harus diperjelas dan dipastikan lebih dulu. Misalnya, soal pendanaan—apakah semua aspek sepenuhnya terpusat mulai dari rektrutmen hingga pendanaan atau penggajian dan karier, atau masih dibagi antara pusat dan daerah.

“Tapi, yang paling krusial untuk ditarik ke pusat bukan soal pendanaan, melainkan kewenangan pusat dalam pengembangan kapasitas guru, karier, dan distribusi guru,” kata Edi.

Tak Sekadar Soal Kewenangan

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai bahwa usulan sentralisasi tata kelola guru kental dengan nuansa pendekatan politik.

“Artinya, kementerian dan juga Komisi X ini menganggap ini soal kewenangan karena masalah tata kelola guru ada di antara kewenangan pusat dan daerah. Dan selalu persoalannya berputar di situ,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (14/3/2025).

Berkaitan dengan permasalahan tata kelola guru yang dihadapi di Indonesia saat ini, P2G sebelumnya pernah mengajukan 5 pilar tata kelola guru. Usulan itu dibuat dengan mempertimbangkan bahwa persoalan tata kelola guru di Indonesia tak sekedar berkait kewenangan pusat atau daerah.

Mewakili P2G, Iman menjabarkan beberapa permasalahan tata kelola guru yang dihadapi saat ini. Pertama, soal kompetensi guru. Menurutnya, pemerintah masih gagal dalam hal meningkatkan kompetensi guru melalui program PPG.

Saat ini, sebagian lulusan PPG masih terkatung-katung tidak bisa ikut seleksi PPPK. Pun masih banyak guru yang belum ikut PPG.

“Dari janji sekitar 800 ribu [guru ikut PPG], ternyata hanya ada sampai 400 ribu. Itu juga, menurut kami, menandakan pemerintah memang belum sepenuhnya berkomitmen dalam meningkatkan kompetensi guru,” ujar Iman.

Kedua, soal kesejahteraan guru. Iman menilai kondisi kesejahteraan guru di Indonesia masih memprihatinkan. Dia menekankan bahwa janji Prabowo-Gibran saat kampanye masih belum terlaksana. Para guru honorer yang dijanjikan akan mendapat bantuan dana juga belum ada saat ini.

“Mungkin, satu yang kami apresiasi adalah ketika tunjangan profesi guru itu dikirim langsung ke rekening para gurunya. Itu kami apresiasi. Selebihnya kami kira kondisi kesejahteraan guru di Indonesia masih memprihatinkan,” kata Iman.

Ketiga, soal rekrutmen guru. Dia menyoroti seleksi PPPK yang dilakukan pemerintah masih berantakan. Terlebih, baru-baru ini, para calon PPPK yang sudah lulus passing grade baru akan diangkat pada awal 2026.

Keempat, soal distribusi guru. Meski perbandingan komposisi guru dan peserta didik di Indonesia itu cukup ideal, yaitu 1:15. Akan tetapi, persebaran guru belumlah merata.

“Misal, ketika menempatkan guru ke daerah-daerah 3T, ini tidak cukup hanya dengan tambahan tunjangan, tapi samakan posisi guru seperti juga TNI, seperti juga polisi, jaksa, hakim di daerah yang diberikan rumah dinas dan juga kendaraan dinas,” katanya.

Pilar kelima adalah perlindungan guru. Iman menyoroti sejumlah kasus kriminalisasi terhadap guru, seperti yang menimpa Ibu Supriyani di Konawe dan Vokalis Band Sukatani, Novi Idriani.

“Kalau memang pemerintah ingin memperbaiki tata kelola guru, maka lima pilar itu harus dipenuhi. Yaitu kompetensi guru, kesejahteraan guru, rekrutemen guru, distribusi guru, dan perlindungan guru,” kata Iman.

Iman tak menampik ada beberapa catatan positif jika tata kelola guru dilakukan secara terpusat. Meski begitu, dia berharap tunjangan kinerja yang diberikan oleh pemda ke guru tak serta-merta hilang jika pengelolaan guru ditarik ke pusat.

“Kami harap itu tidak berpengaruh karena kalau itu dikurangi, dihilangkan, tentu akan sangat merugikan,” tutupnya.


tirto.id - News

Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |