harapanrakyat.com,- Sungai-sungai yang mengalir di Kota Cimahi kini menghadapi tantangan serius terhadap kualitas airnya. Mereka berada dalam kategori tercemar berat dan memprihatinkan. Pengujian laboratorium Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan tingginya konsentrasi atau kandungan bakteri E-Coli di perairan Cimahi. Sumber utama berasal dari kotoran manusia dan hewan. Kondisi ini menjadi sorotan penting bagi upaya pelestarian lingkungan hidup di daerah tersebut.
Berdasarkan Indeks Kualitas Air (IKA) tahun 2024, semakin menegaskan parahnya kondisi pencemaran sungai Cimahi. Angka IKA menunjukkan penurunan drastis, anjlok hingga 14,76 dengan indikator merah, yang secara definitif mengukuhkan status tercemar berat. Penurunan signifikan ini menggambarkan perlunya tindakan segera dan komprehensif untuk memulihkan ekosistem sungai.
Penyebab Peraian di Cimahi Terdapat Kandungan E-Coli
Ario Wibisono, Kepala Bidang Penaatan Hukum Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cimahi, sebelumnya telah membahas persoalan krusial ini dalam sebuah forum. Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Jawa selenggarakan acara ini bersama berbagai daerah pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Baca juga: Tidak Ada Kejelasan Bantuan dari Pusat dan Daerah, Pembangunan Rutilahu di Kota Cimahi Melambat
Ario menjelaskan bahwa penelitian lebih lanjut oleh Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan penyebab utama buruknya kualitas air. Ini bukan berasal dari aktivitas industri. Sebaliknya, pencemaran bakteri E-Coli adalah pemicu utama. Ia menekankan bahwa bakteri E-Coli umumnya hanya bersumber dari dua jenis limbah, yakni kotoran manusia atau hewan.
Ario kemudian menguraikan beberapa kemungkinan penyebab peningkatan bakteri E-Coli ini. Kegiatan peternakan berkontribusi pada pencemaran air, selain itu, perilaku masyarakat yang tidak tertib dalam mengelola limbah domestik juga memperparah kondisi. Bakteri dari septic tank yang bocor atau tidak terkelola dengan baik dapat dengan mudah masuk ke badan air penerima. Sektor pertanian juga berperan, terutama penggunaan pupuk kandang organik yang terbawa aliran air hujan dan akhirnya mencemari sungai dengan E-Coli.
Menariknya, Kota Cimahi memiliki karakteristik geografis yang berbeda dari 27 kota/kabupaten lain di Jawa Barat. Cimahi tidak memiliki mata air atau hulu sungai sendiri. Meskipun demikian, lima aliran sungai melintasi wilayah Kota Cimahi. Beberapa di antaranya memiliki lebar hanya sekitar dua meter. Mungkin di daerah lain orang menganggapnya sebagai selokan. Namun, di Cimahi masyarakat menyebutnya sungai.
Kelima sungai tersebut mencakup Cisangkan, Cimahi, Cihaur, Cibeureum, dan Cibaligo. Pihak berwenang memantau kelima sungai ini secara berkala tiga kali setahun, untuk mengukur kualitas air dan tingkat pencemarannya. Namun, karena Cimahi tidak memiliki hulu sungai, kota ini menghadapi keterbatasan. Khususnya dalam mengendalikan sepenuhnya sumber pencemaran yang berasal dari hulu, seperti yang terjadi di Bandung Barat.
Cari Solusi Bersama
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup mengundang kota/kabupaten di sekitar Cimahi untuk berdiskusi. Mereka berusaha mencari solusi atas masalah lintas daerah ini. Pertemuan tersebut mengakui bahwa Cimahi tidak memiliki mata air dan hulu sungai di wilayahnya. Penanganan pencemaran memerlukan kerja sama antarwilayah. Kolaborasi regional menjadi kunci utama untuk mengatasi masalah lingkungan yang kompleks ini.
Hasil pengujian laboratorium Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cimahi pada tahun 2024 menemukan kadar bakteri *Escherichia coli* (E-Coli) yang sangat mengkhawatirkan. Angkanya mencapai 10 pangkat 9 atau setara miliaran per satu cc air. Angka ini jauh melampaui ambang batas normal yang seharusnya hanya berkisar pada 10 pangkat 3. Ini menunjukkan tingkat pencemaran yang ekstrem di sungai-sungai Cimahi.
Lebih lanjut, Ario menjelaskan bahwa aliran sungai yang telah melewati kawasan padat penduduk dan industri di daerah hulu secara signifikan berkontribusi terhadap peningkatan pencemaran sungai Cimahi. Sebagai contoh, Sungai Cibeureum yang pihak berwenang nilai memiliki tingkat pencemaran berat berhulu di Kota Bandung. Alirannya kemudian melewati pemukiman padat penduduk sebelum masuk ke wilayah Cimahi. Selanjutnya melalui kawasan industri di sekitar Kahatex, memperburuk kualitas air sebelum mencapai Cimahi. (Eri/R6/HR-Online)