Pentingkah Mengejar Edukasi AI di Tingkat Pendidikan Dasar?

12 hours ago 7

tirto.id - Pada Februari 2025 lalu, Microsoft sempat mengeluarkan studi yang menyebut ketergantungan pada AI bisa menyebabkan kehilangan kemampuan berpikir kritis.

Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, menjadi salah seorang yang paling getol mendorong mata pelajaran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) di tingkat pendidikan dasar. Saat meninjau penerapan mata pelajaran AI di SMAN 66 Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (12/3/2025) lalu dia kembali menegaskan hal ini.

"Kita pengen menambahkan pelajaran-pelajaran, tools-tools yang benar-benar kekinian dibutuhkan dan kita ingin sekali lagi mengikuti perkembangan zaman dan tantangan sekarang AI penting sekali," ujarnya.

Pada kesempatan itu dia juga menjelaskan, saat ini pemerintah berupaya menerapkan pelajaran AI dari tingkat SD. Pembahasan di tingkat kementerian tengah dilakukan. Bahkan naskah akademik ‘Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial pada Pendidikan Dasar dan Menengah’ telah rampung pada Februari 2025 lalu.

Dokumen penjajakan ilmiah tersebut disusun oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), sebagai landasan akademik untuk mendukung implementasi koding dan AI masuk ke pembelajaran di sekolah.

Kemendikdasmen, pada Desember 2024 lalu juga menyebut, rencana dua materi tersebut akan masuk dalam kurikulum tahun pelajaran 2025-2026.

Menanggapi inisiatif tersebut, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, cenderung skeptis. Menurut dia, pengajaran dua materi tersebut di tingkat pendidikan dasar tidak mendesak dan tidak terlalu penting.

“Menurut saya, yang harus diperkuat itu literasi. Percuma saja kita belajar AI dan koding, tapi literasi kita buruk. Kemampuan analisis kita buruk, kemampuan memecahkan masalah kita, memahami teks, mengkontekstualisasi, menghubungkan pemahaman dalam teks itu buruk maka AI dan kodingnya akan sia-sia saja gitu,” tuturnya kepada Tirto, Kamis (13/3/2025).

Menurut dia, fokus seharusnya ke penguatan literasi anak di tahap awal terlebih dahulu baru pendidikan AI dan koding efektif mengembangkan kemampuan anak. Inisiasi terlalu dini pada teknologi AI bisa menyebabkan ketergantungan dan ketidakmampuan menganalisis hasil yang diberikan perangkat tersebut.

“Jadi yang terjadi adalah ya kita menelan mentah-mentah apa kata AI gitu. Tapi kalau anak-anak yang sudah punya level literasi yang sudah kuat gitu kan, lalu belajar AI, maka AI bisa tambah mempertajam analisis dia,” tambah Ubaid.

Buruknya kemampuan literasi anak di Indonesia terpancar dari skor Programme for International Student Assessment (PISA). Survei internasional yang dilakukan oleh organisasi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2022 ini, menunjukkan Indonesia masih berada di bawah rata-rata.

Dari tiga subjek yang masuk penilaian; matematika, membaca, dan sains. Untuk matematika (rata-rata dunia 472), pelajar Indonesia mencatatkan skor 366 Sementara untuk membaca (476), skor rata-rata di Indonesia 359. Sementara sains (485) skor Indonesia 383.

Pendidikan AI Secara Bertahap

Menurut Ubaid, penguatan tiga subjek tersebut, ditambah penguatan karakter selama wajib belajar sembilan tahun baru akan menjadi modal yang cukup untuk pendidikan bisa mulai ditambah dengan perangkat seperti AI.

Senada Dosen Fakultas Teknologi Informasi Monash University Indonesia, Arif Perdana, juga menyebut pentingnya strategi untuk implementasi pendidikan koding dan AI secara bertahap.

Dalam penjabarannya, siswa tingkat SD sebaiknya sebatas mendapat pengantar tentang berpikir komputasional lewat permainan interaktif. Sementara pembelajaran koding menurutnya belum relevan. Masuk ke SMP, pemrograman berbasis blok dan eksplorasi konsep AI bisa mulai diperkenalkan.

“Cukup mengajarkan mereka logika, misalnya, kondisi jika-maka (if then), repetisi,” tuturnya lewat pesan singkat kepada Tirto, Kamis (13/3/2025).

Di tingkat SMA, barulah pemrograman berbasis teks dan aplikasi AI mulai diberikan. Itupun dengan catatan dalam kadar minimal, sebagai landasan.

“Belajar dari Cina dan Singapura, AI harus diajarkan dengan game-based learning agar tidak menambah beban siswa. AI juga seharusnya tidak masuk sebagai kurikulum utama pembelajaran, tetapi sebagai kurikulum tambahan yang dikemas dengan cara yang menyenangkan,” kata Arif.

Lebih lanjut, menurut Arif, sebenarnya penerapan mata pelajaran AI di pendidikan dasar sebenarnya relevan dengan perkembangan teknologi. “Tetapi untuk kondisi Indonesia yang belum siap dari sisi infrastruktur dan sumber daya pengajar, rasanya program ini terlalu ambisius,” tambahnya.

Dia juga mengatakan tanpa pemerataan akses, inisiatif ini malah bisa memperlebar jurang pendidikan antara kota besar dan daerah terpencil. Selain itu dia juga menambahkan, jika nantinya dua materi ini masuk kurikulum perlu ada penyesuaian berdasarkan kemampuan kognitif siswa.

ANAK BELAJAR AI CODINGANAK BELAJAR AI CODING. foto/istockphoto

Dalam dokumen naskah akademik yang disebut sebelumnya, terdapat secara terperinci landasan, praktik pembelajaran, tantangan implementasi, sampai dengan langkah-langkah implementasinya. Secara garis besar, dokumen tersebut menyebut dalam upaya integrasi koding dan AI dalam kurikulum, keduanya akan ditawarkan sebagai mata pelajaran pilihan pada jenjang pendidikan SD (kelas 5 dan 6), SMP (kelas ,8, dan 9), dan SMA (kelas 10 dan peningkatan intensitas di kelas 11 dan 12). Opsi lainnya adalah dengan menjadikannya sebagai ekstrakurikuler.

Sementara itu Direktur Regulasi dan Etika Indonesia Al Society (IAIS), Henke Yunkins, meyakini ilmu dasar seperti matematika, fisika, dan statistika lebih penting untuk diperkuat. “Jadi apapun perkembangan AI, tetap akan bisa keep up,” tuturnya kepada Tirto, pada kesempatan terpisah.

Kemampuan matematika (dan kalkulus) serta fisika memberi dasar untuk memahami bagaimana sesuatu berubah dan berinteraksi dalam suatu sistem. Kalkulus juga menjadi ini dari optimasi dari machine learning yang memungkinkan AI semakin pintar. Sementara ilmu statistik memberi kerangka untuk memahami pola dalam data dan bagaimana mengambil keputusan terbaik.

“Dalam AI, statistik sangat penting karena sebagian besar model AI beroperasi berdasarkan probabilitas dan inferensi dari data yang tidak sempurna,” terang dia.

Lebih lanjut, menurut Henke, tanpa pemahaman dasar tentang ilmu-ilmu tersebut, pelajar akan sulit mendefinisikan masalah dengan akurat, sehingga tidak bisa pula memberi solusi yang tepat.

“Problem utama kebanyakan orang saat ini bukan solving the problem, tapi mendefinisikan problemnya itu apa yang perlu diselesaikan,” imbuhnya.

Dia juga menyoroti soal naskah akademik pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial yang dibuat pemerintah. Menurut dia perbandingan dengan negara-negara seperti Singapura, Tiongkok, dan India, seperti yang tercantum dalam dokumen tersebut tidak pas.

“Literasi dan dasar mereka beda jauh dengan kita. Jadi harusnya tidak bisa 1 to 1 diterapkan (dicontoh persis). Kita butuh memperkuat dasar dahulu,” tambahnya.

Kompetensi Guru Perlu Ditingkatkan

Selain terkait dengan urgensi dan kemampuan literasi yang masih terbatas, ada juga faktor kapasitas guru sebagai pengajar yang perlu ditingkatkan. Pengamat Pendidikan, Totok Amin Soefijanto, menekankan hal ini.

Menurut dia untuk mengintegrasikan AI ke pendidikan, kemampuan literasi, numerasi, serta kemampuan berpikir logis untuk menyelesaikan masalah harus sudah dikuasai dulu. “(Pertanyaannya) gurunya mampu tidak?” ujarnya kepada Tirto, Kamis (13/3/2025).

Oleh karenanya, menurut Totok, peningkatan kapasitas guru menjadi langkah pertama sebelum penerapan kurikulum AI ini mau diterapkan. “Itu yang lumayan berat,” tambahnya.

Naskah akademik dari BSKAP Kemendikdasmen juga menyoroti hal ini. Terdapat penekanan terkait penguatan kompetensi guru lewat pelatihan dan sumber pengajaran. Bahkan di dalam dokumen tersebut menyebut perlunya program sertifikasi bagi guru koding dan AI untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme.

Sepaham Ubaid dari JPPI juga beranggapan perlunya meningkatkan kompetensi guru. Hal ini juga yang menurut dia tidak banyak disinggung. Padahal ini bisa jadi yang pertama perlu dibenahi.

“Jadi yang disalah-salahkan jangan hanya siswanya, tetapi siswa yang tidak paham matematika –misalnya– itu karena diajar oleh guru yang tidak punya kemampuan pedagogik (ilmu mengajar) matematika, kemampuan keilmuan profesional sebagai guru matematika nggak punya,” ujarnya.

Dalam konteks pendidikan AI, dia merasa akan semakin pelik lagi permasalahannya.

“Jadi persoalannya lain lagi siapa yang ngajar AI dan coding?” Sebab menurut dia, tidak bisa sekadar menaruh ahli AI atau ahli coding untuk mengajarkan hal tersebut. Sebab butuh kombinasi kemampuan mengajar, kemampuan profesional, kepribadian, serta kemampuan sosial untuk seseorang bisa menjadi guru.

Sebagai teknologi yang banyak memberi kemudahan, tentu AI tidak datang hadir tanpa konsekuensi. Sebuah Studi dari Microsoft belum lama ini menunjukkan, penggunaan AI di tingkat pekerja profesional dapat memberikan dampak ketergantungan. Yang lebih parahnya lagi hal ini dapat menyebabkan orang kehilangan kemampuan berpikir kreatif.

Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, mengingatkan pentingnya pendidikan dasar, bagi orang yang akan menggunakan AI. Anak yang tidak paham dengan bahaya penggunaan AI, bisa terjerumus memanfaatkannya tanpa batas.

Padahal, dia mengingatkan, AI itu bukan alat yang tidak punya kelemahan. Setidaknya ada tiga kelemahan AI yang sempat dia jelaskan; terkait hasil karya AI yang mengandung bias, kecenderungan untuk selalu menjawab yang kerap berujung memberi hasil yang tidak akurat, sampai dengan perkembangannya yang kian cepat, sehingga kerap memberi ketidakpastian hasil data.

Sependapat dengan pakar lain, pendekatan pendidikan AI harus dilakukan secara bertahap. Dia mengibaratkan seperti mengajari anak kecil bermain alat musik. Bisa dimulai dengan mengenali bunyi, nada, baru kemudian memegang alat musiknya.

“Yang harus ditekankan pembelajaran AI sama sekali bukan soal penggunaan perangkat untuk aplikasi tertentu. Tapi AI adalah soal pemanfaatan informasi dan cara berpikir penggunaan (informasi) yang di-support perangkat, untuk menghasilkan pengetahuan. Maka harus ditekankan, produksi pengetahuan maupun inovasi tetap oleh manusia. Tidak menjadi upaya memindahkannya ke perangkat,” terangnya, lewat pesan singkat kepada Tirto, Kamis (13/3/2025).


tirto.id - Teknologi

Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |