Parade “Kuda Kosong” menjadi salah satu kebudayaan asli dari Kota Cianjur, Jawa Barat. Keunikan atraksinya terletak pada kuda yang diarak di momen-momen khusus, dalam keadaan tanpa penunggang. Meski telah populer sejak lama, nyatanya belum banyak yang tahu bagaimana sejarah kuda kosong Cianjur.
Baca Juga: Sejarah Nama Buitenzorg, Cikal Bakal Identitas Kota Bogor
Seiring berjalannya waktu, penjelasan tentang tradisi ini berkembang lewat dua versi. Baik itu cerita rakyat yang terwariskan secara lisan serta catatan sejarah berbentuk naskah kuno. Mari kita pahami keduanya.
Mengulas Jejak Sejarah Kuda Kosong Cianjur
Asal mula “helaran kuda kosong” yang paling terkenal bersumber dari cerita lisan. Dalam kisah yang warga yakini, tradisinya berkaitan erat dengan peristiwa penyerahan upeti oleh pemerintah Cianjur. Tepat pada masa pemerintahan Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II kepada Sunan Mataram di Jawa Tengah.
Kala itu, Bupati Cianjur wajib memberikan upeti berupa hasil bumi seperti beras, lada dan cabai sebagai simbol persembahan. Namun, dalam versi lisan, Dalem Pamoyanan yang cerdas menyampaikan bahwa tanah Cianjur miskin hasil pertanian.
Ia hanya menyerahkan beras, cabai, serta lada yang masing-masing jumlahnya sebutir saja. Ia pun turut menekankan bahwa meskipun miskin secara materi, rakyat Cianjur punya keberanian besar dalam perjuangan bangsa. Seberani rasa pedas cabai dan lada yang mereka hasilkan.
Terkesan oleh keberanian dan kepandaian berbicara sang Dalem, Sunan Mataram pun memberikan hadiah seekor kuda jantan.
Pemberian Menjadi Sesuatu yang Sangat Berharga
Sesuai sejarah lisan, kuda ini menjadi kehormatan besar sekaligus pengakuan atas martabat Dalem Pamoyanan beserta rakyat Cianjur. Kudanya kemudian diarak dengan penuh kemeriahan oleh masyarakat.
Selain itu, nilai kepahlawanan yang Dalem Pamoyanan tanamkan pun membuahkan hasil. Sekitar 50 tahun kemudian, rakyat Cianjur melakukan perlawanan gerilya terhadap penjajah Belanda di bawah komando Dalem Cianjur Rd. Alith Prawatasari.
Ribuan rakyat dari berbagai desa bahu-membahu membentuk barisan perjuangan. Bahkan, beberapa informasi menyebutkan jika pasukan Belanda pernah mundur ke Batavia karena kuatnya perlawanan dari rakyat Cianjur.
Menurut sesepuh yang menjadi narasumber sejarah lisan, setelah peristiwa diplomatik Pamoyanan dan Kesultanan Mataram, Cianjur tidak lagi wajib membayar upeti.
Baca Juga: Sejarah Sri Gading Anteg, Tokoh dengan Peran Besar di Tanah Tasikmalaya
Versi Naskah Babad Cikundul
Informasi berbeda muncul dalam naskah Babad Cikundul yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI. Dalam hasil penelitian para tokoh, sejarah Kuda Kosong memiliki aspek metafisika. Dalam pupuh ke-35 dan 36, tertulis bahwa kuda yang masyarakat hias dalam tradisi ini mereka yakini ditunggangi leluhur agung. Sosok leluhur tersebut konon bernama Eyang Surya Kancana.
Dalam versi naskah tersebut, utusan Pamoyanan memang tercatat menghadap ke Keraton Mataram. Namun, tidak ada kisah pemberian hadiah seekor kuda dari Sunan Mataram. Justru, hadiah yang ia berikan berupa dua benda. Meliputi pisalin sapangadeg (sepasang pakaian adat Jawa) dan pendok emas (hiasan keris).
Bahkan, versi babad menyebut bahwa sejak peristiwa tersebut, Cianjur justru wajib membayar upeti secara rutin. Tujuannya sebagai bentuk tunduk pada kekuasaan Kesultanan Mataram, bukan sebaliknya. Dalam beberapa kesempatan, utusan Cianjur akan pergi satu rombongan dengan Dipati Ukur dari Bandung.
Tradisi yang Tetap Lestari
Meski sempat mendapat penolakan dari pihak tertentu karena mereka klaim sebagai tradisi musyrik, kini, Kuda Kosong berhasil tetap hidup. Bahkan menjadi bagian penting dalam perayaan budaya masyarakat Cianjur.
Acaranya rutin pemerintah gelar pada Hari Jadi Cianjur, 12 Juli, yang sering menjadi satu rangkaian dengan HUT Kemerdekaan RI. Dalam perayaannya, kuda akan mereka hias megah namun tetap tanpa penunggang. Hal ini melambangkan penghormatan kepada leluhur atau ruh agung yang mereka percaya menaungi masyarakat.
Penuntun kuda mengenakan pakaian adat berupa gamis panjang dengan luaran berhiaskan kain motif tradisional. Mereka juga memakai ikat kepala (turban) dan sandal khas. Barisan pengiring terdiri atas prajurit pembawa upeti, pohon saparantu (lambang kesuburan), serta keris pusaka. Perlengkapan lainnya seperti tombak dan umbul-umbul turut melengkapi.
Baca Juga: Sejarah Abattoir Tjimahi, Rumah Jagal Hewan Era Belanda
Nah, itulah penjelasan lengkap mengenai sejarah kuda kosong Cianjur yang sekarang menjadi ikon budaya. Melalui arak-arakan dan pementasan, tradisinya mengajarkan nilai keberanian, kebijaksanaan, serta penghormatan terhadap leluhur yang terus hidup dalam budaya lokal. Semoga informasinya bermanfaat! (R10/HR-Online)