Sejarah Tari Tiban menarik perhatian untuk kita ulas lebih dalam mengenai asal-usul kesenian tersebut. Tarian Tiban merupakan suatu tradisi masyarakat Tulungagung, Jawa Timur untuk memohon turunnya air hujan. Asal mula tarian ini berasal dari Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Baca Juga: Mengulas Makna Tari Kedok Ireng, Seni Tradisional Jawa Barat
Akan tetapi, ritual ini telah mengalami perkembangan hingga ke daerah pesisir selatan Jawa Timur seperti Trenggalek, Blitar, dan juga Kediri. Untuk mengetahui lebih lanjut terkait kesenian tradisional ini, maka simak ulasannya dalam artikel di bawah ini.
Sejarah Tari Tiban Untuk Memohon Turunnya Air Hujan Ke Bumi
Kesenian tradisi Tiban mempertunjukkan adu kekuatan menggunakan cambuk yang bermakna untuk memohon turunnya air hujan. Hal ini berawal dari sebuah fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung ini adalah bertani.
Mayoritas masyarakat setempat melakukan tradisi tersebut saat musim kemarau panjang melanda. Mereka meyakini, tradisi ini dapat membantu agar hujan turun ke bumi dan membasahi area persawahan yang kering. Cambuk yang mereka gunakan terbuat dari sada aren sebagai senjata para pemain.
Istilah Tiban sendiri telah ada pada masa pemerintahan Adipati Nilosuwarno atau Surontani ke-II sekitar abad ke-15. Untuk mengetahui lebih lanjut, simak sejarah selengkapnya di bawah ini.
Sejarah Asal Mula Kesenian Tiban di Desa Wajak
Sejarah Tari Tiban bermula saat Tumenggung Surontani II menunjukkan kemarahan besar mendengar kabar bahwa putrinya, Dewi Roro Pilang mengandung anak di luar nikah. Sang putri mengaku hamil anak Gusti Panembahan.
Mendengar pernyataan tersebut, sang ayah lalu meminta pertanggungjawaban Gusti Panembahan melalui utusannya. Seraya menunggu kabar, beliau mengadakan hiburan rakyat melalui pertunjukan adu kekuatan, yang kemudian mereka namai dengan istilah “Tiban”.
Pertunjukan tersebut merupakan strategi beliau untuk mencari prajurit yang handal dan tangguh. Pencarian prajurit ini tak lain karena bertujuan agar mampu berperang dalam situasi genting.
Bersamaan dengan pagelaran kesenian tersebut, masyarakat Desa Wajak kala itu mengalami kemarau yang panjang. Oleh karena itu, warganya memohon doa kepada Yang Maha Kuasa agar hujan turun lebat membasahi area pertanian. Selain mereka berdoa, para prajurit pun membuat persembahan jenang seribu atau terkenal dengan nama dawet.
Perkembangan Tari Tiban di Masa Kolonial Belanda
Sejarah Tari Tiban pada masa kolonial Belanda masih terus berlanjut bahkan mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda. Alasan mereka antara lain karena tarian ini dapat menjadi alat untuk mengadu domba rakyat.
Selain itu, terdapat adanya kekuatan magis atau gaib yang membuat pemerintah Belanda berdecak kagum akan kesenian tersebut.
Proses Pertunjukan Kesenian Tari Tiban di Desa Wajak
Sejarah Tari Tiban mencatat proses pertunjukan tarian tersebut urut dari sebelum pelaksanaan, saat berlangsung, hingga selesai pertunjukkan. Berikut penjelasannya.
Baca Juga: Sejarah Tari Ketuk Tilu, Tarian Tradisional Jawa Barat
1. Sebelum Gelaran Kesenian
Sebelum memulai pertunjukan, para tokoh adat Desa Wajak akan melakukan ziarah ke Makam Tumenggung Surontani II. Ziarah ini mereka tujukan untuk meminta izin menggelar pertunjukan Tiban. Hal ini merupakan wujud penghormatan kepada beliau sebagai pencetus sejarah Tari Tiban pertama kalinya.
Selain itu, terdapat sajian jenang dawet, minuman berbahan dasar tepung beras dan campuran gula merah cair serta perasan santan. Sajian ini merupakan wujud rasa syukur masyarakat Desa Wajak.
Kemudian, mereka membagikan minuman tersebut kepada para peniban (pemain) dan para pelandang (wasit) di Desa Wajak. Tujuannya agar pemain tidak merasa sakit saat terkena lecutan.
2. Saat Pertunjukan Kesenian Tiban
Saat pertunjukkan, tarian ini dilakukan oleh dua orang peniban. Terdapat satu orang wasit yang mengawasi pertunjukkan tersebut.
Para peniban harus bertelanjang dada karena cambuk hanya boleh mengenai badan (dada sampai pinggang). Aturannya melarang untuk mencambuk tubuh bagian atas, seperti kepala dan wajah. Setiap babaknya, masing-masing pemain memiliki kesempatan selama tiga kali cambukan. Hal ini berarti setiap babak terdapat enam cambukan.
Bagi yang melanggar peraturan, wasit akan mengeluarkannya dari arena dan tidak boleh mengikuti pertunjukan Tiban kembali. Pertunjukan ini bersamaan dengan iringan musik gamelan Jawa yang terdiri dari kendang gedhe, saron, kentongan, ketuk, kenong, dan juga gong suwuk.
Sementara itu, sambuk atau ujong berbentuk tumpul pada bagian ujungnya. Ujong berasal dari sada aren atau sekitar 15 batang lidi aren yang kemudian dipilin menjadi satu. Beberapa bagian mereka berikan suli (pengikat yang terbuat dari anyaman kulit pelepah aren anyaman kulit bambu yang halus).
3. Setelah Pertunjukan Kesenian Tiban
Setelah pertunjukkan tarian selesai, para pemain akan saling bersalaman. Hal ini menunjukkan kerukunan antar masyarakat agar berjalan dengan baik. Tak lupa, mereka meminta maaf satu sama lain karena Tiban berfungsi sebagai sebuah ritual bukan pertarungan.
Setelah itu, para sesepuh Desa Wajak akan memimpin doa bersama agar pertunjukan sejarah Tari Tiban ini dapat mendatangkan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa dengan datangnya hujan yang turun ke bumi.
Baca Juga: Sejarah Tari Remo dari Jawa Timur, Kaya Makna dan Filosofi
Demikian ulasan terkait sejarah Tari Tiban yang dapat menambah referensi semua orang. Saat ini pelaksanaan Tari Tiban masih berlangsung kala musim kemarau tiba. Keberadaannya menambah daftar tradisi budaya yang harus tetap terjaga kelestariannya di Indonesia. (R10/HR-Online)