Situs Kuta Tanggeuhan Cianjur, peninggalan budaya masyarakat lampau, masih menyimpan banyak misteri yang belum terjelaskan secara tuntas. Terletak di Dusun Cidaweung, Desa Batulawang, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, lokasi ini bukan hanya sekadar tumpukan batu. Akan tetapi, sebuah saksi bisu peradaban dan pusat pertahanan spiritual yang kental dengan nilai historis sekaligus mitologis kuat.
Baca Juga: Tari Belenderan Karawang, Kesenian Lokal dengan Sesajen Khusus
Situs ini tersembunyi di lereng barat Gunung Gede pada ketinggian sekitar 1.100 mdpl. Sehingga, menjadikannya tujuan wisata minat khusus sejak warga temukan pada tahun 2017. Keberadaannya pada perbatasan Cianjur dan Bogor semakin menambah aura kerahasiaan sekaligus keunikan historisnya.
Asal-Usul Nama dan Makna Filosofis Situs Kuta Tanggeuhan Cianjur
Secara etimologis, nama Situs Kuta Tanggeuhan memiliki makna filosofis yang mendalam. Kata “Kuta” dalam bahasa Sunda sebagai benteng atau tempat pertahanan. Sementara itu, “Tanggeuhan” bermakna pegangan atau tumpuan. Berdasarkan gabungan dua kata tersebut, Situs Kuta Tanggeuhan dapat bermakna sebagai benteng yang menjadi pegangan atau tumpuan pertahanan terakhir.
Makna ini masyarakat percaya bukan hanya merujuk pada pertahanan fisik semata. Akan tetapi, juga perlambang dari pertahanan spiritual atau nilai-nilai luhur yang terjaga pada masa lalu. Budayawan lokal melihat tempat ini sebagai simbol ketahanan budaya dan jati diri masyarakat Sunda di tengah berbagai ancaman maupun perubahan zaman.
Struktur Arkeologis dan Jejak Sejarah Situs Kuta Tanggeuhan
Saat pertama kali masyarakat temukan, para peneliti dan arkeolog menaruh perhatian besar pada struktur batuan di lokasi. Situs Kuta Tanggeuhan Cianjur menampilkan susunan batuan andesit di atas bukit. Kemudian, menurut arkeolog dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Lutfi Yondri, memiliki kemiripan dengan punden berundak di daerah Pasir Manggis, Bogor. Unsur-unsur yang menyerupai bentuk makam juga mereka temukan. Meskipun begitu, situs ini tidak termasuk kategori megalitikum karena ukuran batunya yang kecil-kecil.
Baca Juga: Mengulik Jejak Peninggalan di Situs Candi Cibuaya Karawang
Beberapa temuan objek batuan pada area lahan milik Perhutani ini memiliki nama lokal yang unik dan dugaannya merupakan bagian dari tempat ritual. Sebut saja Batu Tilu Undak Tujuh, Batu Sajadah, Batu Kujang, Batu Tulis bersimbol kepala macan, Batu Telapak Kaki, Batu Peta dan batu dolmen yang masyarakat setempat sebut sebagai Batu Lawang.
Dugaannya, Batu Lawang ini merupakan dolmen sebagai bagian penting dari tempat ritual. Secara keseluruhan, susunan batuan tersebut menunjukkan pola geometris tertentu. Bahkan ada formasi batu menyerupai pagar keliling yang membentengi area inti situs. Pada bagian tengah, terdapat batu besar yang masyarakat yakini sebagai “Batu Petapaan”. Ini adalah tempat para resi atau tokoh spiritual bertapa. Selain itu, temuan artefak lainnya adalah pecahan tembikar.
Estimasi Usia dan Fungsi Situs Kuta Tanggeuhan
Dalam perkembangan budayanya, Lutfi Yondri berpendapat bahwa usia Situs Kuta Tanggeuhan Cianjur lebih muda daripada Situs Gunung Padang. Ia menyebutkan, berdasarkan struktur batuannya, situs ini jelas sudah masuk pada masa sejarah. Meskipun demikian, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Iendra Sofyan, menduga situs ini berasal dari zaman prasejarah. Namun kepastian usia dan asalnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dari susunan batunya, situs ini memiliki fungsi utama sebagai tempat ritual. Masyarakat meyakini Kuta Tanggeuhan adalah pusat spiritual masyarakat Sunda zaman dulu. Tak lain sebagai tempat pertapaan, meditasi dan penyatuan energi spiritual dengan alam. Fungsi ini sejalan dengan sistem kepercayaan Sunda Wiwitan yang menjunjung tinggi keseimbangan antara alam, manusia dan Sang Hyang Kersa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Selain itu, tempat ini juga mereka yakini menjadi lokasi berkumpulnya para tokoh adat dan pemimpin lokal untuk membahas keputusan penting.
Warisan Budaya yang Menanti Perlindungan
Situs Kuta Tanggeuhan Cianjur tidak hanya menawarkan kekayaan sejarah, tetapi juga potensi besar sebagai destinasi wisata budaya dan spiritual. Meskipun belum terdaftar resmi sebagai cagar budaya nasional, masyarakat lokal, melalui lembaga adat dan pemuda desa, berperan aktif dalam menjaga sekaligus merawat situs ini secara turun-temurun.
Baca Juga: Sejarah Raden Walangsungsang, Anak Prabu Siliwangi dan Keturunan Pajajaran
Ancaman seperti ekspansi lahan pertanian dan minimnya perhatian pemerintah menjadi tantangan. Namun, upaya pelestarian terus komunitas pecinta sejarah dan budaya Sunda galakkan. Penting bagi semua pihak, termasuk akademisi, pemerintah dan masyarakat umum, untuk memberikan perhatian lebih pada Situs Kuta Tanggeuhan Cianjur. Dengan publikasi dan penelitian yang berkelanjutan, harapannya Situs Kuta Tanggeuhan di Cianjur ini mendapat pengakuan secara resmi, terlindung oleh hukum lantas terus menjadi tumpuan bagi pemahaman sejarah dan jati diri masyarakat Sunda. (R10/HR-Online)