Isi Perjanjian Salatiga, Sejarah, Latar Belakang, dan Dampaknya

5 hours ago 2

tirto.id - Perjanjian Salatiga merupakan salah satu babak penting dalam sejarah di Indonesia. Mengetahui latar belakang dan isi Perjanjian Salatiga akan membantu kita memahami pergolakan kekuasaan di Jawa pada pertengahan abad ke-18.

Seperti yang diketahui, Indonesia dulunya dikuasai oleh kerajaan yang memimpin di berbagai daerah, salah satunya adalah Kesultanan Mataram Islam yang sempat berjaya di bawah kepemimpinan Sultan Agung.

Namun, Kesultanan Mataram yang dulunya perkasa mulai mengalami kemunduran dan perpecahan internal. Campur tangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) semakin memperkeruh suasana. VOC kerap memanfaatkan konflik internal untuk memperkuat posisi dan kepentingan ekonomi mereka.

Perjanjian Salatiga lahir dari serangkaian konflik dan intrik politik di tubuh Kesultanan Mataram. Perjanjian ini ditandatangani oleh Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said), Hamengkubuwono I, Pakubuwono III, dan pihak VOC sebagai penengah.

Perjanjian Salatiga ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Gedung Pakuwon yang berlokasi di Salatiga, Jawa Tengah. Perjanjian ini berhasil mengubah peta kekuasaan di Jawa Tengah sekaligus mewariskan dampak jangka panjang terhadap struktur politik dan sosial budaya di wilayah tersebut.

Latar Belakang Perjanjian Salatiga

Ilustrasi Kerajaan MataramIlustrasi Kerajaan Mataram. tirto.id/Fuad

Latar belakang perjanjian ini tak lepas dari masalah politik dan perebutan kekuasaan di dalam keluarga Kesultanan Mataram. Perebutan kekuasaan ini semakin keruh akibat adanya campur tangan kuat dari VOC.

Latar belakang Perjanjian Salatiga pun erat kaitannya dengan Perang Suksesi Jawa Ketiga dan Perjanjian Giyanti. Perang Suksesi Jawa Ketiga adalah konflik perebutan takhta di Kesultanan Mataram, terutama setelah wafatnya Pakubuwana II. Perang ini melibatkan tiga pihak besar, yaitu:

  • Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh Pakubuwono III dan didukung oleh VOC
  • Pangeran Mangkubumi (adik dari Pakubuwana II)
  • Raden Mas Said (dikenal juga dengan nama Pangeran Sambernyawa dan Mangkunegara I)

Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, perpecahan Kesultanan Mataram Islam diawali dari konflik keluarga antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang semakin diperparah dengan adanya politik adu domba VOC.

Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Pakubuwono II dan keduanya merupakan putra dari Amangkurat IV, Raja Mataram ke-8. Sementara itu, Raden Mas Said adalah anak dari Pangeran Arya Mangkunegara yang merupakan putra sulung Amangkurat IV.

Dengan kata lain, Raden Mas Said adalah cucu dari Amangkurat IV sekaligus keponakan dari Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono II. Setelah Amangkurat IV wafat, secara silsilah, kekuasaan seharusnya diwariskan kepada Arya Mangkunegara. Namun, Arya Mangkunegara sering menentang VOC sehingga ia diasingkan.

VOC kemudian mengangkat putra Amangkurat IV lainnya, yaitu Pangeran Prabusuyasa yang kemudian bergelar Pakubuwono II. Di masa pemerintahan Pakubuwono II inilah terjadi beberapa pemberontakan, salah satunya dari Raden Mas Said yang ingin merebut takhta pamannya.

Singkat cerita, setelah Pakubuwono II wafat, VOC mengangkat putranya yang bernama Raden Mas Soerjadi sebagai raja baru dengan gelar Pakubuwono III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang sama-sama merasa berhak menduduki takhta akhirnya melakukan perlawanan.

Pihak Belanda kemudian mulai melancarkan politik adu domba sehingga Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang sebelumnya bekerja sama, akhirnya malah berselisih. VOC mulai mengadakan perundingan untuk pembagian wilayah Mataram dengan melibatkan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi.

Perundingan ini melahirkan Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta yang dikuasai Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta yang dipegang oleh Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I).

Namun, Perjanjian Giyanti tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik. Raden Mas Said yang merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi menolak isi Perjanjian Giyanti karena tidak dilibatkan dalam prosesnya.

Ia pun melanjutkan perlawanan melawan tiga pihak, yakni Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, serta VOC. Raden Mas Said tidak bisa mengalahkan ketiganya, sementara tiga kekuatan tersebut juga tidak berhasil meredam perlawanan Raden Mas Said.

Perang yang tak kunjung usai akhirnya mulai mengancam posisi VOC di Jawa. VOC pun memutuskan untuk merangkul Raden Mas Said dan menawarkan perdamaian melalui Perjanjian Salatiga di tahun 1757.

Isi Perjanjian Salatiga

Ilustrasi Mangkunegara I alias Raden Mas SaidIlustrasi Mangkunegara I alias Raden Mas Said. tirto.id/Gery

Perjanjian Salatiga ditandatangani pada 17 Maret 1757 dan menjadi penanda terbaginya wilayah Mataram menjadi tiga bagian. Pakubuwono III memberikan sebagian wilayah Surakarta kepada Raden Mas Said.

Tanah yang diberikan seluas 4.000 cacah (sekitar 2.800 hektar), termasuk wilayah yang saat ini dikenal sebagai Kabupaten Wonogiri dan Karanganyar. Wilayah ini disebut Kadipaten Mangkunegaran, sedangkan Raden Mas Said berdaulat dengan gelar Mangkunegara I.

Dikutip dari laman Museum Nasional Pendidikan UPI, berikut isi Perjanjian Salatiga:

  1. Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (pangeran yang mempunyai status setingkat penguasa di Jawa).
  2. Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Dampar Kencana (singgasana)
  3. Pangeran Miji berhak untuk menyelenggarakan acara penobatan adipati dan memakai semua perlengkapan adipati.
  4. Tidak diperbolehkan memiliki Balai Witana.
  5. Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang pohon beringin kembar.
  6. Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
  7. Pemberian tanah lungguh seluas 4000 karya yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.

Dampak Perjanjian Salatiga

Puro MangkunegaranPuro Mangkunegaran. FOTO/puromangkunegaran.com/

Perjanjian Salatiga tentunya membawa dampak yang signifikan terhadap lanskap politik di tanah Jawa. Perjanjian Salatiga tak hanya meredam konflik perebutan takhta Kesultanan Mataram, tapi pada akhirnya juga memecah wilayah kekuasaan Mataram itu sendiri. Secara keseluruhan, berikut dampak Perjanjian Salatiga:

1. Berakhirnya Konflik Internal Skala Besar

Perjanjian Salatiga mampu meredam konflik internal Mataram, khususnya terkait perebutan kekuasaan di dalam keluarga kerajaan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Hal ini membawa sedikit stabilitas di masing-masing wilayah.

2. Terbentuknya Tiga Wilayah dan Kelahiran Mangkunegaran

Hasil Perjanjian Salatiga yang paling terlihat adalah terbaginya wilayah Kesultanan Mataram menjadi tiga yang juga sekaligus mengakhiri dominasi tunggal Mataram.

Ketiga wilayah itu adalah Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III, Kasultanan Yogyakarta yang dikuasai Sultan Hamengkubuwono I, serta Kadipaten Mangkunegaran yang dimiliki oleh Raden Mas Said.

3. Penguatan Pengaruh VOC

VOC berperan sebagai mediator dalam perjanjian ini, tapi hal ini secara tak langsung membuat pengaruh VOC semakin kuat di Jawa. Dengan memecah Mataram menjadi tiga bagian yang lebih kecil, VOC sebenarnya dapat lebih mudah mengontrol dan memanipulasi kepentingan masing-masing penguasa demi keuntungan mereka sendiri.

4. Terbentuknya Identitas Budaya yang Berbeda

Seiring berjalannya waktu, masing-masing dari ketiga wilayah kekuasaan tersebut mengembangkan identitas kultural dan tradisi yang sedikit berbeda. Salah satu yang dapat dilihat di masa sekarang adalah adanya perbedaan antara gaya busana adat antara Yogyakarta dan Surakarta.

Perjanjian Salatiga merupakan titik balik penting dalam sejarah Jawa. Meskipun berhasil mengakhiri konflik berkepanjangan, perjanjian ini akhirnya memecah belah wilayah Kesultanan Mataram yang dulu begitu kuat. Mengetahui latar belakang, isi, dan dampak perjanjian ini pun sangat penting bagi generasi muda untuk memahami dinamika sejarah dan perkembangan wilayah di Pulau Jawa.


tirto.id - Edusains

Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |