Jumlah satelit yang mengelilingi Bumi bukan lagi hitungan puluhan atau ratusan. Saat ini, ribuan satelit buatan manusia beredar di angkasa, memenuhi orbit-orbit tertentu. Kehadiran benda langit tersebut membawa banyak manfaat, mulai dari telekomunikasi, prakiraan cuaca, hingga memantau kebakaran hutan dan bencana alam lainnya. Meski begitu, dari semua manfaat itu, tersimpan sejumlah kekhawatiran yang mulai mengusik para ilmuwan dan pemerhati lingkungan luar angkasa.
Baca Juga: Mengetahui Perbedaan Satelit Phobos dan Deimos yang Setia Mengelilingi Mars
Bayangkan saja, langit malam yang biasanya penuh bintang, kini mulai terganggu oleh jejak cahaya dari ribuan satelit yang terus melintas. Sungguh sayang jika keindahan alam semesta harus terkalahkan oleh kilauan benda buatan manusia.
Berapa Jumlah Satelit yang Mengelilingi Bumi?
Jumlah satelit yang mengorbit Bumi tercatat terus bertambah pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hingga 11 Juni 2024, data dari United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) menyebutkan ada 11.780 satelit yang mengorbit Bumi. Sebagian besar dari angka fantastis itu berada di Low-Earth Orbit (LEO), yakni orbit rendah yang letaknya mulai dari ketinggian 160 km hingga 2.000 km di atas permukaan Bumi.
Dari total tersebut, sekitar 8.110 satelit beredar di LEO, sebanyak 6.050 dari mereka berasal dari megakonstelasi Starlink milik SpaceX. Proyek ambisius Elon Musk ini menargetkan total 12.000 satelit dalam waktu dekat, bahkan masih bisa meluas hingga 34.400 satelit.
Selain LEO, ada pula Medium-Earth Orbit (MEO), wilayah orbit pada ketinggian 2.000 km hingga sekitar 35.786 km. Orbit ini jadi tempat bagi 199 satelit navigasi, seperti GPS, GLONASS, Galileo, dan BeiDou.
Pada posisi paling jauh terdapat Geostationary Orbit (GEO) atau orbit geosinkron (ketinggian 35.786 km). Di sana, tercatat 552 satelit yang bergerak mengikuti rotasi Bumi. Biasanya, satelit GEO berguna untuk telekomunikasi dan prakiraan cuaca, karena bisa memantau lokasi yang sama sepanjang waktu.
Lonjakan Satelit di Orbit Bumi dan Dampaknya
Per Mei 2025, terdapat sekitar 11.700 satelit aktif mengorbit Bumi, sebagian besar di orbit rendah (LEO). Jumlah total satelit, termasuk yang sudah tidak aktif, mencapai 14.900 menurut data PBB. Meskipun terlihat banyak, para ahli memprediksi jumlah ini bisa meningkat hampir sepuluh kali lipat sebelum stabil.
Lonjakan ini memicu kekhawatiran besar, yakni gangguan astronomi, manajemen lalu lintas antariksa, peningkatan puing ruang angkasa, dan polusi atmosfer. Mayoritas pertumbuhan didorong oleh konstelasi swasta seperti Starlink milik SpaceX, yang sudah memiliki 7.400 satelit aktif. Perusahaan lain seperti OneWeb, SpaceMobile, Amazon (Project Kuiper), dan China juga berkontribusi.
Para astronom memperkirakan daya dukung maksimum LEO sekitar 100.000 satelit aktif. Setelah batas ini tercapai, peluncuran baru hanya bisa dilakukan untuk menggantikan satelit lama. Daya dukung ini menurut perkiraan bisa tercapai sebelum tahun 2050 jika tren saat ini berlanjut.
Fungsi Satelit yang Mengelilingi Bumi
Jumlah satelit yang mengelilingi Bumi tidak hanya sekadar angka, melainkan berkaitan langsung dengan kebutuhan manusia modern. Satelit telekomunikasi membantu memperlancar sinyal televisi, internet, hingga sambungan telepon lintas negara.
Sementara itu, satelit cuaca berperan vital dalam memprediksi kondisi atmosfer. Sehingga masyarakat bisa lebih waspada menghadapi potensi bencana. Satelit pengamat Bumi pun sangat berguna untuk memantau kebakaran hutan, banjir, pencairan es di kutub, hingga aktivitas gunung api.
Sementara itu, satelit navigasi menjadi andalan dalam sistem GPS yang kini nyaris tak bisa terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Mulai dari mencari alamat, menentukan rute tercepat, hingga mengatur pengiriman barang secara presisi.
Baca Juga: Wahana Antariksa Blue Ghost Akhirnya Mendarat di Bulan
Risiko dan Kekhawatiran di Balik Jumlah Satelit yang Terus Meningkat
Meski bermanfaat, jumlah satelit yang mengelilingi Bumi mulai memicu berbagai kekhawatiran. Salah satunya adalah polusi cahaya di langit malam. Keindahan gugusan bintang perlahan tertutup oleh jejak cahaya dari satelit. Ini bisa mengganggu aktivitas astronomi dan pengamatan langit.
Selain itu, ada juga ancaman sampah antariksa. Ketika satelit sudah tidak berfungsi, posisinya di orbit bisa bergerak tanpa kendali, berpotensi menabrak satelit lain atau membentuk serpihan-serpihan kecil yang membahayakan pesawat luar angkasa.
Para ilmuwan bahkan mulai khawatir akan terjadinya Sindrom Kessler. Ini merupakan kondisi tabrakan satelit memicu rantai tabrakan berikutnya yang akhirnya membentuk lingkaran sampah antariksa sekitar Bumi. Jika skenario ini terjadi, wilayah orbit dekat planet kita bisa menjadi sangat berbahaya untuk aktivitas antariksa masa depan.
Sungguh sayang jika ambisi teknologi tanpa batas justru membawa risiko besar bagi generasi mendatang. Langit malam yang dulu begitu tenang, kini harus berbagi ruang dengan ribuan benda buatan yang terus bertambah.
Jadi Apa Kesimpulannya?
Jumlah satelit yang mengelilingi Bumi kini mencapai 11.700 unit per Mei 2025, terbagi di orbit LEO, MEO, dan GEO. Kehadirannya memberi banyak manfaat bagi manusia, mulai dari telekomunikasi hingga pemantauan lingkungan. Namun, lonjakan jumlah satelit juga menimbulkan kekhawatiran, seperti polusi cahaya, sampah antariksa, hingga ancaman Sindrom Kessler.
Baca Juga: Bentuk Orbit Bulan yang Berdampak Pada Kondisi Bumi
Langit malam yang indah dan penuh bintang harus tetap terjaga kelestariannya. Semoga kedepannya, kemajuan teknologi antariksa bisa tetap seimbang dengan upaya menjaga keindahan dan keamanan luar angkasa. Karena, sebanyak apapun jumlah satelit yang mengelilingi Bumi, keindahan langit malam tetap tak tergantikan. (R10/HR-Online)