tirto.id - Pemerintah akan meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara pada Senin (24/2/2025) mendatang. Entitas baru ini didesain untuk mengelola investasi negara melalui konsolidasi aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis.
Danantara nantinya akan mengelola tujuh BUMN besar, termasuk Bank Mandiri, BRI, BNI, Pertamina, PLN, Telkom, dan MIND ID. Aset dikelola Danantara dari BUMN-BUMN tersebut, nilainya diperkirakan mencapai 900 juta dolar AS atau sekitar Rp14.715 triliun aset dalam pengelolaan (asset under management/AUM). Ini menunjukkan skala besar dan pengaruh signifikan Danantara terhadap perekonomian negara.
"Kami juga siap untuk mengembangkan Danantara Indonesia, sumber kekayaan yang baru, yang menurut penilaian inisial kami, mencapai 900 juta dolar AS asetnya," ucap Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan secara virtual dalam kegiatan World Governments Summit, Kamis (13/2/2025).
Prabowo berharap Danantara setidaknya bisa menjadi nafas dan kekuatan ekonomi baru bagi Indonesia. Kelahiran Danantara juga diharapkan bisa membuat pengelolaan kekayaan negara dilakukan dengan baik dan seefisien mungkin, sehingga bisa dinikmati sampai generasi yang akan datang.
"Jadi, artinya Danantara ini kekuatan ekonomi dana investasi yang merupakan energi kekuatan masa depan indonesia, kekayaan negara dikelola, dihemat, untuk anak dan cucu kita," ujar Prabowo.
Sebagai tahap awal, pemerintah telah mengucurkan 20 miliar dolar AS atau setara Rp325,2 triliun (asumsi kurs Rp16.260) kepada BPI Danantara. Nilai investasi tersebut didapatkan dari penghematan dilakukan negara melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
Total penghematan dilakukan pemerintah dalam tiga putaran diketahui mencapai 44 miliar atau Rp750 triliun. Dari penghematan tersebut, sebesar 24 miliar dolar AS dipertuntukan untuk pembiayaan program makan bergizi gratis. Sedangkan sisanya, 20 miliar dolar AS dikucurkan untuk Danantara.
Namun, di balik ambisi pemerintah membentuk Danantara, tantangan yang akan dihadapi ke depan rupanya jauh lebih besar. Karena dengan pengelolaan aset dan nilai investasi yang jumbo tersebut, maka celah bagi terjadinya korupsi dan konflik kepentingan di dalam pengelolaan Danantara tidak bisa dihindarkan.
Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengamini bahwa pembentukan BPI Danantara memiliki tantangan yang sangat besar. Salah satunya adalah potensi tindak pidana korupsi di dalam pengelolaanya.
Karena disadari atau tidak, ada atau tanpa kehadiran Danantara pun praktik korupsi di BUMN sudah sering. Menurut hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) jumlah kasus korupsi BUMN yang masuk tahap penyidikan mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka selama periode 2016-2021. Total kerugian negara akibat seluruh kasus ini diperkirakan mencapai Rp47,92 triliun.
Tercatat ada 9 kasus korupsi BUMN pada 2016. Kemudian jumlahnya sebanyak 33 kasus pada 2017, menjadi 21 kasus pada 2018, dan 20 kasus pada 2019. Bahkan, selama pandemi COVID-19, kasus korupsi di lingkungan BUMN tidak mereda. Jumlahnya bahkan bertambah menjadi 27 kasus pada 2020. Sedangkan pada 2021 ada 9 kasus korupsi BUMN yang disidik oleh aparat penegak hukum.
“Sehingga perlu perencanaan yang matang agar Danantara bisa menjawab tujuan pembentukannya dan tidak menjadi ladang korupsi baru,” ujar Baidul kepada Tirto, Selasa (18/2/2025).
Sejumlah tamu beraktivitas di dekat logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz
Berkaca pada lembaga yang sama seperti Jiwasraya, Asabri atau lembaga yang serupa di luar negeri seperti 1MBD Malaysia atau Petrobras di Brazil, potensi korupsi sangat besar. Celah korupsi itu terjadi akibat adanya intervensi politik.
Masuknya politik dalam pengambilan kebijakan atau keputusan investasi, dapat mengarah pada penunjukan proyek atau mitra tertentu. Sehingga, dalam hal ini tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan profesionalitas. Akan tetapi lebih karena faktor kepentingan.
Peneliti Center of Economics and Law Studies (Celios), Bara M Setiadi, tak menampik bahwa kehadiran BPI Danantara dapat membuka celah praktik korupsi. Karena jika dilihat dengan modal yang dikonsolidasikan, maka potensi korupsi yang lebih besar akan terjadi.
“Harus disadari juga bahwa dengan modal yang lebih besar dan terpusat moral hazard-nya juga lebih besar,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (18/2/2025).
Berkaca kepada kasus asuransi Jiwasraya saja misalnya, dengan modal yang lebih kecil justru terdapat korupsi sebesar Rp16,8 triliun. Jika tidak dikelola secara akuntabel dan profesional, maka, potensi korupsi di BPI Danantara bisa jauh lebih besar dan berdampak terhadap keuangan negara.
Implikasinya potensi korupsi BUMN yang tergabung di Danantara juga akan meningkat. Terlebih proses audit terhadap BPI Danantara saat ini dinilai tidak lagi transparan. Karena dalam draft RUU BUMN yang baru, pemeriksaan laporan keuangan perusahaan tahunan dilakukan oleh akuntan publik. Bagi perusahaan persero akuntan publik ditetapkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sedangkan bagi perusahaan umum (Perum) akuntan publik ditetapkan oleh Menteri.
Padahal sebelumnya, Amandemen Undang-undang No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) versi draf paripurna 4 Februari 2025, memberi mandat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa BPI Danantara. Namun demikian, beleid baru yang segera berlaku itu memangkas kewenangan BPK dalam memeriksa laporan keuangan BUMN.
“Audit yang baik dari pihak internal maupun eksternal sangat berperan. Saya rasa harus dilakukan dua audit," ujar Bara.
Audit oleh pemerintah dilakukan untuk menjamin kepentingan publik dan kinerja dalam pelayanan publik. Sementara audit oleh pihak eksternal swasta dapat diarahkan lebih teknis tentang keuangan, kesehatan perusahaan, serta profitabilitas. Sehingga, lebih transparansi dalam proses audit berjalan.
Mitigasi Risiko: Pengelolaan Harus Tepat
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan agar meminimalisir potensi korupsi terjadi perlu ada mitigasi risiko di dalam Danantara. Salah satunya dibutuhkan pengelolaan yang tepat. Karena jika sukses, Danantara ini akan membuat Indonesia terbang, tetapi jika gagal akan membuat Tanah Air tenggelam.
“Karenanya, desain dan pengelolaannya harus tepat,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (18/2/2025).
Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini. Pertama pemerintah harus memastikan payung hukum yang jelas dan memungkinkan Danantara berfungsi secara profesional setara dengan institusi sejenis yang ada di luar negeri. Kedua, Danantara ini harus diisi oleh sosok berintegritas dan profesional dengan track record yang baik.
Ketiga, pemerintah juga harus menghindari politisasi Danantara, sehingga perlu disiapkan mekanisme untuk menghindarinya. Keempat dibutuhkan pula kejelasan koordinasi agar hindari terlalu banyak bos. Terakhir, harus menerapkan mekanisme Good Corporate Governance (GCG) dan antikorupsi yang handa di dalam BPI Danantaral.
“Megakorupsi Taspen, Asabri dan Jiwasraya terjadi, karena lima faktor tersebut tidak hadir secara memadai, khususnya faktor nomor dua, tiga dan lima,” ucap dia.
Di luar itu, sambung Baidul dari FITRA, pemerintah dapat menerapkan standar transparansi yang optimal diantaranya melalui laporan berkala dan pembuatan dashboard pengelolaan Danantara secara real time. Ini sebagai bentuk transparansi publik, sehingga masyarakat juga bisa terlibat dalam pengawasan.
Selain itu, pemerintah juga dapat membangun sinergi dan kolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga lainnya untuk melakukan audit dan pengawasan. Di samping juga pemerintah perlu membentuk pengawasan independen yang profesional dengan tugas utama memantau dan mengevaluasi kinerja Danantara secara berkala.
Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, menambahkan upaya mitigasi atau pencegahan, sebenarnya sudah ada dalam sistem korporasi. Misalnya dari sisi manajemen risiko, ada yang disebut dengan risk appetite atau risiko yang dapat ditoleransi oleh perusahaan.
Selain itu, sistem manajemen risiko dan tata kelola perusahaan harus melekat dalam perusahaan. Karena itu, posisi komisaris yang disodorkan Danantara ke BUMN harus yang benar. Misalnya, bukan politisi. Dan sebaiknya jangan pula pejabat kementerian. Biar pejabat tersebut ikut mengontrol, karena mereka sebagai regulator.
“Kalau nanti tetap ditemukan fraud, setelah manajemen risiko dan tata kelola dijalankan, Danantara jangan sembunyikan. Harus dibawa ke penegak hukum. Kalau disembunyikan, yang menyembunyikan perlu ikut diperiksa. Biar ada efek jera,” ujar Herry kepada Tirto, Selasa (18/2/2025).
Jadi intinya, untuk mencegah potensi korupsi, mulai dari rekrutmen, pengelolaan bisnis, sampai pada evaluasi atau audit harus dilakukan oleh pemerintah di dalam pengelolaan Danantara. Semua harus dilakukan secara transparan.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang