tirto.id - Pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) makin masif dan umum dewasa ini. Beragam perangkat teknologi mulai menawarkan AI dalam produknya. Media sosial seperti X (dulu Twitter) punya Grok, sementara Meta punya Meta AI, sedangkan Google punya Gemini. Sementara penyedia perangkat lunak seperti Microsoft dan Apple menanamkan Copilot dan Apple Intelligence dalam perangkat-perangkat yang menggunakan sistem operasi mereka.
Namun, ketergantungan terhadap penggunaan perangkat AI rasanya perlu mendapat perhatian. Sebuah studi dari Microsoft dan Carnegie Mellon University menyimpulkan, semakin manusia bergantung dengan perangkat AI untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, semakin berkurang aktivitas berpikir kritis yang mereka lakukan. Hal ini menyebabkan semakin sulit bagi mereka untuk menggunakan akalnya untuk berpikir dengan terstruktur ketika dibutuhkan.
Secara khusus hal ini berlaku dalam penggunaan Generative AI (GenAI), perangkat AI yang dapat membuat konten dan ide baru, termasuk percakapan, cerita, gambar, video, dan musik. Perangkat populer seperti ChatGPT, Deepseek, serta dua yang disebut di atas, Copilot dan Gemini masuk kategori ini.
“Meskipun GenAI dapat meningkatkan efisiensi pekerja, namun hal ini dapat menghambat keterlibatan kritis dalam pekerjaan dan berpotensi menyebabkan ketergantungan jangka panjang pada alat tersebut dan berkurangnya keterampilan untuk memecahkan masalah secara mandiri,” begitu tulis salah satu kesimpulan dalam jurnal 23 halaman tersebut.
Penelitian ini memantau 319 orang profesional di berbagai bidang pekerjaan, secara khusus yang melibatkan pengolahan data. Mereka kemudian akan melaporkan sejauh mana perangkat GenAI mereka manfaatkan dalam melaksanakan pekerjaan.
Beberapa rincian yang masuk dalam laporan ini mencakup; tugas apa saya yang responden kerjakan menggunakan perangkat AI; seberapa percaya diri mereka dengan kemampuan AI untuk melakukan tugas tersebut; kemampuan mereka untuk mengevaluasi hasil kerja perangkat AI; dan seberapa percaya diri mereka dengan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan tugas yang sama tanpa bantuan AI.
Hasil penelitian menunjukkan adanya sebuah pola, semakin percaya diri pekerja terhadap kemampuan AI dalam menyelesaikan tugas, semakin sering mereka merasa tidak perlu terlibat langsung dalam prosesnya.
Para peserta melaporkan bahwa mereka merasa lebih sedikit menggunakan pemikiran kritis ketika mereka merasa bisa mengandalkan AI. Hal ini menunjukkan adanya potensi ketergantungan berlebihan pada teknologi tanpa adanya evaluasi terhadap hasil yang perangkat AI hasilkan.
Lebih lanjut penelitian juga menemukan, pola ini lebih sering terjadi pada tugas-tugas yang minim risiko, responden cenderung lebih kurang kritis terhadap hasilnya. Meskipun wajar jika seseorang merasa lebih santai pada tugas yang sederhana, para peneliti memperingatkan tentang potensi, “ketergantungan jangka panjang dan berkurangnya pemecahan masalah secara mandiri.”
Sebaliknya, ketika para pekerja kurang percaya pada kemampuan AI untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, semakin mereka terlibat dalam keterampilan berpikir kritis mereka. Pada gilirannya, mereka biasanya melaporkan lebih percaya diri dalam kemampuan mereka untuk mengevaluasi apa yang dihasilkan oleh AI dan memperbaikinya sendiri.
Di sisi lain, pekerja yang merasa lebih percaya diri dalam keterampilan atau pengetahuan mereka sendiri, cenderung lebih kritis terhadap hasil yang diberikan oleh AI dan melakukan revisi terhadap hasilnya. Ini menunjukkan, adanya hubungan kontradiktif antara rasa percaya diri terhadap alat AI dengan kemampuan berpikir kritis dalam pengambilan keputusan.
Penelitian ini juga menyebut temuan soal hasil yang cenderung seragam dari hasil perangkat AI. “Pengguna yang memiliki akses ke perangkat GenAI menghasilkan hasil yang kurang beragam untuk tugas yang sama, dibandingkan dengan yang tidak. Kecenderungan untuk mengandalkan AI ini menunjukkan kurangnya penilaian pribadi yang kontekstual, kritis, dan reflektif terhadap hasil dari AI, sehingga bisa diartikan sebagai penurunan kemampuan berpikir kritis,” tulis para peneliti.
Para peneliti juga menekankan, perangkat AI bukanlah mesin ide yang tidak terbatas. GenAI memiliki keterbatasan hasil hanya berdasar data pelatihannya. Oleh karenanya kecenderungan memberikan hasil yang homogen muncul akibat keterbatasan tersebut. Para peneliti menulis bahwa kurangnya hasil yang beragam ini dapat diartikan sebagai “kemunduran pemikiran kritis” bagi para pekerja.
Dari segi positifnya, penelitian ini menyimpulkan terdapat sejumlah situasi atau tugas yang akan makin efisien jika memanfaatkan alat bantu AI. Catatan tambahan dari penelitian, adanya faktor biaya yang harus masuk pertimbangan pula.
“Ketika menggunakan perangkat GenAI, upaya yang diinvestasikan untuk berpikir kritis bergeser, dari pengumpulan informasi menjadi verifikasi informasi; dari pemecahan masalah menjadi integrasi respons AI; dan dari eksekusi tugas menjadi pengelolaan tugas,” tulis kesimpulan penelitian.
Dua Mata Pisau AI: Menguntungkan dan Perlu Diwaspadai
Hasil penelitian ini perlu mendapat perhatian secara khusus di Indonesia. Sebuah penelusuran dari penyedia layanan konten berbasis AI, WriterBuddy, menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna teknologi AI paling banyak di dunia.
Antara September 2022-Agustus 2023 adal lebih dari 1,4 miliar kunjungan ke situs AI di Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga, negara dengan penggunaan Ai paling banyak, hanya kalah dari Amerika Serikat (AS) dan India.
Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, berpendapat, sama seperti perangkat teknologi lainnya, AI punya sisi menguntungkan dan sisi yang patut diwaspadai. Terkait penurunan kognisi atau kemampuan berpikir, akibat penggunaan perangkat AI, menurut dia hal tersebut sudah terjadi dengan temuan teknologi yang ada sebelumnya.
Dia mencontohkan kalkulator. Perangkat yang satu ini memang membantu menyelesaikan masalah perhitungan kompleks. Namun, jika digunakan berlebihan dan menghitung hal yang remeh, kemampuan matematika penggunanya tentu akan menurun.
Sama halnya dengan eksploitasi Google di era internet. Kecenderungan orang tidak mau mengingat hal yang bisa di-googling secara tidak sadar membuat ketergantungan terhadap mesin pencarian tersebut.
Menurut Firman, AI sebagai teknologi termutakhir juga punya kecenderungan untuk digunakan secara berlebihan. Namun, dengan penggunaan yang tepat, justru AI akan mempertajam kemampuan kognitif.
“Seperti misalnya kita bisa menjadi lebih jelas tentang cara bekerjanya fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan, atau mengerti tentang bagaimana benda-benda angkasa luar bekerja pada orbitnya, itu bisa digambarkan dengan jelas,” tuturnya kepada Tirto, Rabu (6/3/2025).
Pria yang juga pendiri Literos.org ini mengatakan, seperti otot, otak perlu terus dilatih agar dapat terus berkembang. Menurut dia, AI dapat mempertajam fungsi berpikir kritis jika digunakan secara bijaksana.
“Sehingga letak kekritisan kita justru adalah memilih pada pekerjaan-pekerjaan apa, solusi-solusi apa yang kita harus serahkan kepada AI dan apa yang perlu mengandalkan AI,” tambah dia.
Firman menambahkan, penggunaan AI dalam dosis dan cara yang tepat justru akan memberi kecerdasan baru.
Hal senada diungkapkan Direktur Regulasi dan Etika Indonesia Al Society (IAIS), Henke Yunkins. Ia beranggapan untuk penggunaan yang tepat, AI justru akan membantu. Dengan catatan penggunaan teknologi AI ini sebagai alat bantu dan bukan sebagai perangkat utama menyelesaikan masalah.
“Lebih baik belajar dasarnya dengan kuat –matematika, statistika, fisika. Jadi perkembangan AI seperti apapun akan tetap bisa keep up,” ujarnya kepada Tirto di kesempatan terpisah.
Menurut dia, tanpa kemampuan dan ilmu dasar ilmu sains, dalam jangka panjang, penggunaan AI akan lebih banyak memberikan kerugian. “Padahal kemampuan berpikir kritis adalah salah satu kelebihan kita sebagai manusia,” kata dia menambahkan.
Bicara soal kemampuan berpikir kritis dan perkembangan otak tentu erat kaitannya dengan dunia pendidikan. Menurut Firman, sudah menjadi tugas guru, orang tua, serta orang yang paham AI secara mendalam, untuk bisa mengintegrasikan penggunaannya di tingkat yang produktif.
“Harus jadi tujuan pendidikan itu mengembangkan kemampuan berpikir, kemampuan bernalar. Sehingga pada tahap awal katakanlah SD, kelas 1 sampai kelas 3, nalar kita dikembangkan dengan hitungan –tambah-tambahan, kurang-kurangan, kali-kalian. Dan yang penting adalah bukan menghafalnya, tapi cara bekerjanya. Nah, proses mengembangkan kognisi di tingkat itu, tidak boleh diganggu dengan artificial intelligence,” tutur Firman.
Menurut dia, penggunaan AI baru akan efektif jika dipakai untuk menyelesaikan persoalan yang memakan banyak waktu. Catatan tambahannya perlu pemahaman dasar bagi penggunanya.
Misalnya ketika dihadapkan dengan hitungan rumit hitungan kuadrat sampai ratusan, tentu akan lebih efektif memanfaatkan AI, tapi penggunanya harus paham dulu konsep kuadrat adalah mengalikan bilang dasar dengan angka pengalinya. “Tapi kalau kita memperkenalkan nge-prompt untuk menemukan 3x5 berapa misalnya, itu akan menghambat perkembangan kognisi,” tuturnya.
Sejalan juga dengan penelitian oleh Microsoft, Firman juga menekankan pentingnya fungsi evaluasi dari manusia terhadap kerja AI. “Tidak masalah (misalnya) merangkum artikel pakai artificial intelligence. Tapi kita sudah tahu apa yang akan dirangkum dan kata-kata kunci apa yang tidak boleh ditinggalkan. Setelah kita pakai AI, dengan dasar yang kita miliki, digunakan untuk mengevaluasi, apakah hasil rangkumannya sesuai dengan kita,” terangnya.
Sementara menurut Henke, kontrol dari penggunaan AI harus muncul dari masyarakatnya sendiri. Dia mengambil contoh pemakaian perangkat digital di bidang pendidikan dari negara maju.
“Beberapa negara mulai balik atau mengurangi penggunaan teknologi. Contoh di Swedia. Ini initiatif bersama dan bukan dari regulator saja,” ujarnya merujuk ke sebuah artikel dari Guardian yang menyebut kembalinya sistem pendidikan di Swedia yang kembali ke tulis di kertas.
Di sana fokus pendidikan dasar kembali mengajarkan siswa untuk mencari ilmu lewat buku dan peningkatan kapasitas guru. Sumber-sumber digital yang tersedia secara bebas mendapat keraguan dan perlu diperiksa lebih lanjut keakuratannya.
Kelemahan AI
Secara khusus untuk konteks pendidikan, Tirto pernah membuat survei terhadap penggunaan AI oleh sekitar 1.500 orang pelajar. Hasilnya, hanya sekitar 13 persen responden yang mengaku tidak pernah menggunakan perangkat AI sama sekali untuk membantu menyelesaikan tugas-tugasnya.
Jumlah ini tentu bisa menunjukkan bagaimana penggunaan AI kian akrab dan umum digunakan oleh pelajar di Indonesia.
Sebagai dosen, Firman mengaku mempersilakan mahasiswanya untuk menggunakan AI dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Namun, dia tidak bosan-bosan mengingatkan adanya kelemahan dari perangkat AI.
Dia menyoroti tiga kelemahan AI yang membuatnya masih perlu supervisi dari penggunanya. “Pertama, dia mengandung bias ketika proses pengenalan terhadap masalah dan mendapat input data tertentu,” kata dia.
Dia mengambil contoh terkait pekerjaan. Ketika program AI mendapat input informasi soal perawat dengan basis data kebanyakan perempuan, AI akan mengasumsikan perawat berarti perempuan. “Nah, ini AI tidak tahu bahwa dia mengandung data yang bias,” tutur Friman.
Kelemahan kedua adalah AI kerap memaksa memberi jawaban dengan konteks yang berbeda. “Ini yang disebut dengan AIhallucination,” terang Firman. Konteks seperti ini muncul jika mesin AI tidak punya data informasi yang cukup.
Firman memberi contoh dari kasus Microsoft yang sempat mencoba membuat tujuan turis di sebuah kota dengan membuat artikel yang sepenuhnya diformulasi AI. Perangkat AI yang mungkin belum memiliki data yang cukup, justru menyarankan tujuan wisata ke tempat bantuan sosial. “Nah, ini kan menggelikan AI dengan halusinasinya,” tutur dia.
Kelemahan AI yang ketiga adalah perkembangannya yang kian cepat. “Artificial Intelligence ini lebih canggih, sehingga kadang para pengembangnya, para insinyurnya sendiri tidak tahu itu cara bekerjanya,” terang Firman. Hal ini dapat memberikan ketidakpastian hasil datanya.
Firman mengatakan, “Kita kan berhadapan dengan hasil pendidikan, misalnya menjawab soal ujian atau karya akhir, seperti tesis dan disertasi. Kalau mengandalkan AI berhadapan dengan risiko-risiko seperti itu, apakah kita siap?”
Firman lantas menekankan ketidaksempurnaan AI dan penggunaannya harus berhati-hati terhadap hasil yang diberikan.
“Nah, insight inilah yang harus ditanamkan; AI ini tidak sempurna. Harus berhati-hati, jangan meletakkan 100% AI pasti benar. Itu terbukti hari ini, banyak yang menyarankan referensi dari AI, ketika dicek referensinya tidak ada,” ujar Firman menutup percakapan.
tirto.id - Teknologi
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Abdul Aziz