Meriam Iftar, Simbol Waktu Berbuka Puasa Sejak Era Turki Utsmani

10 hours ago 23

tirto.id - Di rumah-rumah, para ibu sibuk menyiapkan hidangan berbuka, sementara anak-anak membantu menata meja makan dengan hiasan khas Ramadhan. Aroma makanan seperti pide, sup lentil, dan manisan khas Utsmaniyah mulai tercium, menggoda selera dan menambah semangat untuk segera berbuka.

Di tempat lain, lampu minyak dan lilin menyala. Sejumlah keluarga besar berkumpul, melebur di pelataran-pelataran masjid, saling berbagi cerita dan doa, menunggu detik-detik yang paling dinanti.

Tak lama kemudian, suara meriam menggema dari alun-alun Masjid Biru di Istanbul, menandakan waktu berbuka telah tiba. Itulah Meriam iftar atau di Turki dikenal sebagai Ramazan Topu.

Tradisi yang Hadir dari Ketidaksengajaan

Tradisi Ramazan Topu dapat ditelusuri dari era Dinasti Utsmaniyah atau Kekaisaran Ottoman pada abad ke-19. Meskipun ada beberapa teori yang berbeda mengenai asal-usulnya, salah satu yang paling populer adalah bahwa tradisi ini muncul secara tidak sengaja.

Sebuah insiden terjadi pada tahun 1821 di era Gubernur Muhammad Ali Pasya yang menaungi wilayah Mesir. Ia memerintah pada tahun 1804 hingga 1849 M dan terkenal karena konsep militernya dalam membangun dan mempertahankan kekuasaan, sehingga angkatan bersenjatanya membentuk Mesir modern.

Suatu hari di bulan Ramadhan, pasukan Ottoman sedang menguji meriam di Benteng Anatolia. Kebetulan, pengujian tersebut dilakukan saat matahari terbenam, tepat pada waktu Magrib saat orang berbuka puasa. Suara dentuman meriam yang keras terdengar ke seluruh penjuru kota, dan masyarakat yang mendengarnya mengira itu adalah tanda untuk berbuka.

Menyadari hal itu, kekaisaran memutuskan untuk menjadikan dentuman meriam sebagai penanda resmi waktu berbuka puasa. Dengan cepat tradisi ini menyebar di benteng-benteng lain dan barak militer, seperti Benteng Rumeli, Benteng Yedikule, dan Barak Baltalimani.

“Ketika meriam bergemuruh di atas Bosphorus, mengumumkan matahari terbenam, masing-masing orang menikmati minuman ringan, dan setelah menghibur diri dengan asap tembakau, melaksanakan salat Magrib seperti biasa, setelah itu makan malam mewah disajikan dan dinikmati,” tutur Christoper Oscanyan dalam The Sultan and His People (1857:63).

Christoper juga menceritakan aneka hidangan di meja kecil penduduk Turki saat itu, yang di atasnya terdapat semangkuk sup ringan, beberapa buah zaitun, sejumlah manisan dan kue. Sebuah chibouk (pipa tembakau) yang sudah terisi dan siap dinyalakan, diletakkan di samping mereka.

Hingga tahun 1827, suara meriam bukan hanya dilakukan sebagai penanda waktu berbuka, tetapi juga berfungsi membangunkan penduduk muslim untuk sahur. Dari Ankara ke Marash, dari Ünye ke Shkodër, dan dari Acre ke Haifa, telah menjadi tradisi untuk menembakkan meriam selama Ramadhan.

Sejak saat itu, tradisi ini terus dilestarikan dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Turki selama bulan Ramadhan.

Selain versi ini, ada juga beberapa versi lain yang menyebutkan bahwa tradisi meriam iftar dimulai pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1808–1839). Sultan ini dikenal sebagai sosok yang memperkenalkan banyak reformasi, termasuk dalam hal modernisasi militer. Meriam iftar diyakini sebagai salah satu cara untuk menggabungkan kemajuan teknologi dengan tradisi keagamaan.

Tradisi Meriam Kian Menyebar

Kebiasaan ini menyebar ke seluruh wilayah, termasuk Levant, Jazirah Arab, Bosnia, dan anak benua India. Berbagai negara menggunakan berbagai jenis artileri, mulai dari perangkat keras militer modern hingga meriam cor tradisional.

Terrance M.P. Dugan dalam risetnya mengulas dan mengomentari lebih dari tiga ratus catatan sejarah yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dari abad ke-17 hingga abad ke-19 mengenai penggunaan kanon yang berkaitan dengan Ramadhan dan penutupannya dengan Bairam (festival Ramadhan akhir).

Catatan-catatan itu mengurai kebiasaan meriam yang ditembakkan untuk mengumumkan dimulainya Ramadhan, dimulainya puasa saat matahari terbit, dan berbuka puasa saat matahari terbenam.

Demikian pula, berakhirnya Ramadhan dan dimulainya Bairam juga ditandai dengan tembakan meriam. Dugan mencatat praktik tersebut tersebar luas di wilayah Islam, didokumentasikan di berbagai lokasi seperti Konstantinopel, Kairo, Aleppo, dan lainnya.

“Untuk Ramadhan menyusul perayaan, atau Byram, kelanjutan tiga hari, yang oleh banyak penulis telah keliru disebut pesta besar. Itu diumumkan oleh senjata kastil, segera setelah deklarasi, atas sumpah, telah dibuat di Mahkamy, tentang kemunculan bulan baru,” tulis Alexander Russel dalam The Natural History of Allepo (1794:189).

Sedangkan adopsi di Arab Saudi dan UEA terjadi pada abad ke-20 yang dikenal dengan Midfa al-Iftar. Di Uni Emirat Arab, tradisi menembakkan meriam saat berbuka puasa dimulai sejak tahun 1960-an. Awalnya dimulai di kota Dubai dan Sharjah sebagai penanda waktu Magrib karena pengeras suara di masjid-masjid belum begitu berkembang dan menyebar luas.

Kini setiap Ramadhan, kepolisian Dubai telah mengumumkan lokasi di mana saja meriam iftar yang dipasang secara stasioner dan portable di sekitar emirat tersebut. Meriam akan ditembakkan bersamaan dengan azan Magrib, yang menandai waktu untuk makan malam.

Biasanya meriam akan ditembakkan dua kali pada malam Ramadhan, sekali setiap hari selama sebulan penuh, dua kali berturut-turut untuk Idulfitri, dan dua kali pada pagi hari Lebaran setelah salat Idulfitri.

Meriam iftar di UEA dapat ditemukan di Expo City Dubai, Burj Khalifa, Festival City, Uptown, Madinat Jumeriah, DAMAC Hills, dan Hatta Guest House. Tahun 2025, tiga lokasi tambahan telah ditambahkan untuk meriam keliling, sehingga totalnya menjadi 17 lokasi.

Sementara di Bosnia, festival sepanjang bulan Ramadhan rutin diadakan di ibu kota Sarajevo. Aneka pertunjukan budaya dan kegiatan keagamaan berlangsung di masjid dan berbagai kampus. Di Benteng Žuta Tabija, meriam tradisional ditembakkan sepanjang hari sebagai penanda akhir puasa.

Di Yerusalem, kebiasaan menembakan meriam dimulai sejak tahun 1945 saat Inggris menyerahkan bekas meriam Perang Dunia I ke pihak otoritas Palestina. Rutin ditembakkan setiap bulan Ramadhan dari puncak bukit timur Gerbang Damaskus.

Meskipun memiliki kejelasan historis, tradisi menembakkan meriam bergantung pada iklim politik dan sosial di wilayah-wilayah tersebut. Terkadang ditinggalkan karena konflik, rezim sekuler, atau peristiwa seperti pandemi Covid-19.

Meskipun tradisi meriam iftar sangat disukai dan dinantikan oleh masyarakat, ia tidak lepas dari risiko dan bahaya. Meriam yang digunakan dalam tradisi ini bukanlah replika atau alat tiruan, melainkan meriam asli yang memiliki daya ledak tinggi.

Maka itu, penembakan meriam iftar hanya dapat dilakukan oleh profesional, biasanya dari kalangan militer atau petugas yang terlatih.

Di tengah perkembangan teknologi dan modernisasi, tradisi meriam iftar tetap bertahan di berbagai negara. Bahkan, beberapa kota besar seperti Istanbul, Kairo, dan Dubai masih melaksanakan tradisi ini dengan semarak yang didukung pemerintah dan militer setempat.

Selain itu, suara dentuman meriam iftar juga disiarkan secara langsung melalui televisi dan radio, sehingga dapat didengar oleh masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.

“Menampilkan tradisi dan warisan Emirat, memungkinkan pengunjung untuk membenamkan diri dalam suasana Ramadhan yang otentik, mewujudkan nilai-nilai toleransi, kemurahan hati, dan cinta selama bulan suci,” tukas Amna Abulhoul, Direktur Senior Program di Sama Dubai TV Channel.


tirto.id - News

Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |