Sejarah Keraton Solo Gabung NKRI & Daerah Istimewa Surakarta

5 hours ago 3

tirto.id - Keraton Solo atau Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu pecahan Kerajaan Mataram Islam. Di masa awal kemerdekaan, Keraton Solo masih memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah Soloraya, dan hendak berkuasa atas Daerah Istimewa Surakarta/Solo (DIS). Kini, Keraton Solo masih eksis, namun pimpinannya, Sri Sunan, tidak memiliki kekuasaan absolut.

Surakarta adalah nama resmi dari Keraton Solo, juga nama administratif dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo saat ini. Nama Surakarta sendiri lahir saat penguasa Mataram kala itu, Susuhunan Pakubuwono (PB) II, memindahkan keraton dari Kartasura, Sukoharjo, ke Desa Solo (baca: Sålå).

Bersamaan dengan pemindahan, PB II juga mendeklarasikan nama Surakarta Hadiningrat. Tanggal pemindahan alias boyong kedhaton terjadi 17 Februari 1745, juga ditetapkan sebagai hari jadi Kota Solo. Versi lain menyebutkan, jika kepindahan itu sebenarnya terjadi pada 17 Sura 1670 atau bertepatan dengan 20 Februari 1745.

Adapun meski sudah dinamai Surakarta, namun nama Solo masih digunakan dan lebih populer sampai saat ini. Baik Solo maupun Surakarta, merujuk maksud yang sama. Lantas bagaimana sejarah Keraton Solo hingga sempat menjadi Daerah Istimewa Solo (DIS)?

Sejarah Keraton Solo Sebelum Indonesia Merdeka

Keraton Solo merupakan 1 dari 4 pecahan Mataram Islam yang masih eksis sampai saat ini. Mataram Islam pertama kali pecah oleh Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian itu memisahkan Mataram Islam menjadi Keraton Kasunanan Solo dan Keraton Kasultanan Ngayogyakarta (Yogyakarta).

Anak Sunan Amangkurat IV, Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) mendapatkan separuh kekuasaan Mataram untuk bertakhta di Kasultanan Yogya. Sedangkan PB III -yang notabene merupakan keponakan HB I- berkuasa atas setengah Mataram lain di Kasunanan Solo.

Adrian Kresna (2022) menyebutkan awalnya Gubernur Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), N Hartingh keberatan jika ada 2 matahari kembar. Namun HB I meyakinkan, bahwa hal itu mungkin terjadi mengacu pada Cirebon. Terpecahlah Mataram menjadi Jogja dan Solo.

Selang beberapa tahun kemudian, berdiri 2 praja/kadipaten pecahan Mataram yang dipimpin oleh adipati. Masing-masing ialah Praja/Pura Mangkunegaran (di Solo) pada 1757 dan Pura Pakualaman (di Yogya) pada 1813.

Kasunanan Solo dan pecahan Mataram lain, di masa penjajahan memerintah sendiri pada masing-masing wilayah. Ni’matul Huda (2021) menyebutkan, Solo dan Jogja memiliki haknya kekuasaannya berdasarkan zelfbesturende landschappen (lang contract/kontrak politik jangka panjang). Berlanjut ke masa Jepang, Solo dikukuhkan sebagai daerah istimewa dengan sebutan kochi. Sedangkan rajanya, yakni Susuhunan/Sunan diberi sebutan koo.

Hingga kemerdekaan, Keraton Solo setidaknya masih berkuasa atas sejumlah wilayah. Beberapa di antaranya ialah Kota Solo (kecuali Kecamatan Banjarsari, kelurahan Kerten, kelurahan Jajar, kelurahan Karangasem, kelurahan Mojosongo), Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten (termasuk eksklave Kotagede dan Imogiri di Yogya). Kabupaten Boyolali, serta Kabupaten Sragen, .

Di dekat Keraton Solo, terdapat Pura Mangkunegaran yang berkuasa atas Kabupaten Karanganyar (dikurangi kecamatan Colomadu dan kecamatan Gondangrejo), Kabupaten Wonogiri (termasuk eksklave Ngawen di Yogya), dan Kabupaten Kota Mangkunegaran (sebagian wilayah Kota Solo).

Masyarakat umum kemudian menyebut eks kekuasaan Keraton Solo dan Mangkunegaran itu sebagai Soloraya, yang mencakup Subosukawonosraten (Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten). Kecuali wilayah enclave yang kini sudah masuk Yogya.

Sejarah Keraton Solo era Kemerdekaan & Masuk NKRI

Republik Indonesia (RI) menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tak lama kemudian, 2 koo di Solo, yakni PB XII (Keraton Solo) dan Mangkunegara VIII (Pura Mangkunegaran) menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas Proklamasi RI.

Setelahnya, Ni’matul Huda (2021) menyebutkan, Presiden RI Sukarno langsung menetapkan Raja Solo, Adipati Mangkunegaran, Raja Yogya, dan Adipati Pakualaman, sebagai Kepala Daerah Istimewa melalui Piagam Kedudukan. Salah satu piagam yang ditujukan kepada Raja Solo berbunyi:

“Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdoerrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII Ing Soerakarta Hadiningrat, pada kedoedoekannya, dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala fikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia,” tulis Piagam Presiden yang ditandatangani Sukarno di Jakarta, pada 19 Agustus 1945.

PB XII kemudian mengeluarkan maklumat resmi pada 1 September 1945, yang intinya bahwa Keraton Solo mengakui keberadaan RI. Namun hingga kini, Daerah Istimewa yang dijanjikan Sukarno tidak benar-benar didapatkan Solo dan Mangkunegaran. Hal berbeda dengan Raja Yogya dan Adipati Pakualaman yang berkuasa hingga kini dalam naungan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Kenapa demikian?

Sejarah Daerah Istimewa Surakarta & Kenapa Dicabut

Ego antara Kasunanan Solo dan Praja Mangkunegaran ditengarai Ni’matul Huda (2021) sebagai penghalang utuhnya Daerah Istimewa Solo (DIS), tidak seperti sebagaimana di Yogya. Diduga, Mangkunegoro (MN) VIII enggan berada di bawah PB XIII. Atau dalam kata lain, MN VIII ditengarai tidak mau menjadi wakil daerah istimewa dari PB XIII.

Di samping itu, terjadi pergolakan di Soloraya dengan munculnya gerakan anti-swapraja. Gerakan itu memicu aksi penculikan terhadap priyayi-priyayi. Gerakan ini juga digerakan oleh kerabat keraton, KPH Sumodiningrat.

Beberapa daerah juga melepaskan diri dari cengkraman istana. Pada tanggal 27 Mei 1946 Kabupaten Karanganyar secara de facto menyatakan diri lepas dari Mangkunegaran. Diikuti oleh Kabupaten Boyolali dan Sragen yang juga menyatakan diri lepas dari Kasunanan. Kabupaten Solo kemudian diputuskan pin­dah ke Sukoharjo. Lalu kemudian Solo membentuk pemerintahan kota sendiri pada 16 Juni 1946.

Karena chaos, PB XII dan MN VIII kemudian kehilangan kekuasaan atas daerahnya sendiri sementara waktu, menyusul Peraturan Pemerintahan No. 16/SD/1946 tertanggal 15 Juli 1946. Soloraya kemudian menjadi karesidenan dengan dipimpin Raden Iskak Tjokroadisuryo dan Soediro.

“Sebelum bentuk susunan Pemerintah Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan UU, maka Daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan satu Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang memimpin segenap pegawai Pamong Praja dan Polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura luar Daerah Surakarta dan Yogyakarta,” tulis PP 16/SD/1946.

Pengembalian status DIS sebenarnya sempat mencuat. Salah satunya oleh tokoh bernama Soetardjo Kartohadikoesoemo yang sempat merangkap sebagai Residen Solo. Namun usulannya, yang di antaranya untuk memberi kekuasaan otonom kepada Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran, ditolak pada 27 Februari 1947 dalam suatu sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Solo.

Setelah berbagai peristiwa di kemudian hari, kekuasaan Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran benar-benar senyap menyusul terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri F.X.3/1/13/1950. Isinya, ialah pemerintahan Kasunanan Solo dan Mangkunegaran dibekukan. Sedangkan wilayah DIS di Soloraya menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah melalui UU 10/1950. HIngga kini, wilayah Soloraya juga masih masuk dalam Provinsi Jateng.


tirto.id - Edusains

Kontributor: Dicky Setyawan
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Fitra Firdaus

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |