Senja Kala Budaya Pembajakan Gim Video

4 hours ago 11

tirto.id - Ada suatu masa ketika cracking video game bukan sekadar cara untuk melewati rintangan bernama hak cipta. Kala itu, cracking atau piracy adalah sebuah kultur, kompetisi, dan, bagi sebagian yang lain, bisa dibilang suatu kebutuhan.

Sejak akhir 1990-an hingga awal 2010-an, kelompok cracker seperti Razor1911, RELOADED, CODEX, dan Skidrow, berlomba-lomba menjadi yang pertama menembus sistem keamanan sebuah gim. Bagi mereka, pembajakan bukan hanya tentang menyebarkan gim gratis, melainkan juga tantangan, gengsi, dan kepuasan, dalam mengalahkan para pengembang yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melindungi produk resminya.

Setiap kali ada perilisan judul gim besar, suasananya pun terasa seperti medan tempur. Komunitas gaming berharap-harap cemas, menunggu berapa lama perlindungan DRM (Digital Rights Management) suatu gim bisa bertahan sebelum akhirnya dibobol.

Tak semua DRM bisa dibobol dalam waktu singkat. Ada yang bisa dibobol hanya dalam hitungan jam, tetapi banyak juga yang membutuhkan waktu berpekan-pekan. Kendati demikian, ekspektasinya tetap sama: suatu hari nanti, gim yang baru dirilis itu bakal ada bajakannya juga.

Bagi para gamer di negara dunia ketiga (ya, termasuk Indonesia), ketika harga gim AAA bisa setara dengan gaji sepekan, budaya pembajakan adalah penyelamat. Regional pricing belum diterapkan saat itu, yang berarti harga gim sering kali disamakan dengan standar negara-negara Barat. Tentu saja, bagi mayoritas gamer, membeli gim orisinal menjadi hal mustahil.

Ketika itu, pembajakan bukan berarti keengganan untuk membayar. Sering kali, hal ini terjadi karena tiadanya pilihan lain untuk memainkan gim idaman. Berkat kelompok-kelompok cracker, para pemain yang tidak mampu membeli gim populer, seperti Grand Theft Auto (GTA), Call of Duty, atau The Witcher, tetap bisa menikmatinya tanpa harus mengorbankan kebutuhan hidup mereka.

Dampak dari budaya pembajakan tidak hanya membuat seseorang bisa memainkan gim secara gratis. Lebih dari itu, budaya tersebut mengedepankan keterbukaan akses. Orang yang tidak membeli suatu gim secara resmi pun tetap bisa terlibat dalam komunitas. Tak jarang pula, mereka yang dulu cuma bisa menikmati gim bajakan pada akhirnya mampu membeli versi orisinalnya ketika sudah mulai mapan secara finansial.

Pertobatan para “Perompak”

Melompat ke masa sekarang, segalanya berubah drastis. Dunia cracking yang dulu begitu semarak kini tinggal menyisakan kenangan masa kejayaan. Banyak kelompok cracker ternama yang telah pensiun, bubar, atau tiba-tiba menghilang dari peredaran. Mereka yang masih bertahan jauh lebih pasif dibandingkan dulu, dan banyak gim besar tetap tak tersentuh selama berbulan-bulan—bahkan ada yang tidak pernah dibobol sama sekali.

Salah satu alasan terbesar di balik kemunduran kultur cracking ini adalah kemajuan teknologi DRM. Denuvo, sistem DRM yang paling terkenal dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi tantangan yang sangat sulit ditaklukan oleh para cracker.

Tidak seperti sistem DRM lama yang relatif mudah dilewati, perlu waktu sangat lama untuk membobol pertahanan Denuvo, bahkan bisa bertahun-tahun. Hal ini, tentu saja, membuat versi bajakan jadi tidak lagi menarik. Sebab, dalam kurun waktu sekian, bisa saja harga sebuah gim sudah turun cukup signifikan.

Dengan makin sedikitnya kelompok cracker aktif dan kian canggihnya sistem DRM, game cracking telah menjadi pertempuran yang makin sulit dimenangkan. Sebuah kultur yang amat bergantung pada kecepatan dan kompetisi kini tak lagi bertaji.

Evolusi Industri Gim

Di luar faktor DRM, industri gim telah berubah sedemikian rupa sehingga pembajakan makin tidak menarik dan, dalam beberapa kasus, menjadi tidak relevan.

Model Game as a Service (GaaS) telah mengubah cara pemain berinteraksi dengan sebuah gim. Banyak gim modern kini dibangun di atas sistem daring yang terus diperbarui dan memiliki elemen live-service, membuat versi bajakan menjadi jauh kurang menarik. Game multiplayer bajakan hampir tidak ada gunanya. Bahkan, game single-player, yang bergantung pada pembaruan berkala atau koneksi internet, akan menjadi sulit dimainkan jika dibajak.

Layanan berlangganan, seperti Xbox Game Pass, PlayStation Plus, dan EA Play, juga telah merekonstruksi ulang kebiasaan konsumen. Berkat itu, alih-alih membayar harga penuh untuk satu gim, para pemain bisa mengakses ratusan gim dengan biaya bulanan yang jauh lebih terjangkau. Model ini membuat gim legal makin mudah diakses sehingga minat terhadap gim bajakan kian berkurang.

Ilustrasi Game OnlineIlustrasi Game Online. foto/istockphoto

Peran regional pricing tak kalah penting dalam mengurangi angka pembajakan. Dulu, harga gim sering kali disamakan secara global sehingga pemain di negara berkembang harus membayar dengan harga yang sama seperti di negara maju. Kini, platform inovatif, seperti Steam, Epic Games Store, dan lokapasar konsol, menawarkan harga lokal yang lebih sesuai dengan daya beli masyarakat setempat. Ketika harga gim sudah lebih masuk akal, alasan untuk membajaknya makin berkurang.

Selain itu, makin banyak orang yang menyadari risiko dari gim bajakan. Jika dulu versi bajakan relatif aman digunakan, kini kian banyak kasus malware, ransomware, dan ancaman keamanan lain, yang tersembunyi di dalam berkas bajakan.

Dengan risiko kehilangan data pribadi atau bahkan merusak sistem komputer, para pemain jadi berpikir dua kali sebelum mengunduh gim atau berkas apa pun secara ilegal.

Tinggalkan Legasi Abadi

Meskipun budaya game cracking mungkin sudah hampir punah, dampaknya terhadap industri gaming sama sekali tak dapat dinafikan. Pada awalnya, pembajakan sering dianggap sebagai ancaman besar bagi para pengembang. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan tersebut memaksa industri untuk beradaptasi dengan cara yang akhirnya menguntungkan, baik bagi pengembang maupun pemain.

Tanpa disadari, cracker telah membantu meningkatkan keamanan gim. Dengan terus-menerus mengekspos celah dalam sistem DRM, mereka memaksa perusahaan menyempurnakan dan memperkuat perlindungan produknya. Banyak sistem keamanan canggih saat ini lahir karena pertarungan panjang antara cracker dan pengembang.

Yang lebih penting, keberadaan pembajakan mendorong industri gim untuk mencari cara lebih baik dalam menjangkau konsumen. Munculnya harga regional, layanan berlangganan, dan toko digital yang sering mengadakan diskon besar, bisa dibilang merupakan upaya industri untuk mengatasi pembajakan.

Jika para pemain bisa mengakses gim secara legal dengan harga lebih masuk akal, akan jauh lebih kecil kemungkinannya untuk membajak.

Dalam banyak hal, dunia cracking berperan sebagai penyeimbang terhadap industri yang terkadang enggan berubah. Cracking menyoroti masalah aksesibilitas dan harga, yang pada akhirnya memaksa pengembang dan penerbit mempertimbangkan kembali cara mereka mendistribusikan gim.

Budaya cracking mungkin sudah mati dan persaingan antarkelompok cracker telah berakhir. Namun, legasi dari era tersebut tetap hidup. Pemain masa kini mungkin tidak lagi merasakan sensasi menunggu rilis versi bajakan. Akan tetapi, mereka bisa menikmati manfaat dari industri yang telah berevolusi berkat era pembajakan gim.


tirto.id - Mild report

Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |