Sritex Bangkrut, Reformasi Industri Tekstil Mendesak Dilakukan

4 hours ago 12

tirto.id - PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex resmi mengakhiri perjalanannya per 1 Maret 2025, setelah beroperasi sejak 1966 silam. Tutupnya operasional raksasa tekstil Asia Tenggara tersebut praktis membuat 10.665 karyawan kehilangan pekerjaannya. Kendati, proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah terjadi sejak sejak Januari 2025, dengan dirumahkannya 1.065 karyawan salah satu anak perusahaan Sritex, PT Bitratex Industries.

“Sejak tanggal 26 Februari 2025, telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dikarenakan perusahaan dalam keadaan pailit,” tulis surat bernomor 299/PAILIT-SSPB/1/2025 yang merupakan putusan PHK oleh tim kurator -Denny Ardiansyah, Nur Hidayat, Fajar Romy Gumilar, dan Nurma Candrayani Sadikin terhadap nasib Sritex, dikutip Senin (3/3/2025).

PHK ini merupakan keputusan terakhir usai tim kurator usai bertemu dengan manajemen Sritex. Sementara dengan adanya putusan PHK sebagai penyelesaian atas pailit Sritex, tim kurator akan melakukan eksekusi terhadap harta pailit untuk selanjutnya dilakukan penaksiran harga oleh akuntan independen. Kemudian, harta pailit yang sudah ditaksir harganya akan dilelang untuk melunasi pembayaran utang. Pun, pesangon karyawan Sritex juga baru bisa dibayarkan setelah harta pailit terjual.

“Kita belum bisa menghitung (besaran pesangon). Kami mempersilakan teman-teman karyawan menghitung, dibantu serikat dan Disnaker, sesuai regulasi saja. Sesuai peraturan pemerintah, Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan), (dan) UU Cipta Kerja. Silakan dihitung, biar ditagihkan ke kurator,” jelas perwakilan tim kurator, Denny Ardiansyah, usai rapat kreditur di Pengadilan Negeri Semarang, Jumat (28/2/2025).

Tutupnya Sritex dan anak-anak usahanya: PT Bitratex Industries, PT Primayudha Mandirijaya dan PT Sinar Pantja Djaja memberikan pukulan cukup dalam bagi industri tekstil nasional. Pasalnya, usaha yang bermula dari toko kain kecil di Pasar Klewer, Surakarta, Jawa Tengah itu telah bertransformasi menjadi perusahaan tekstil terintegrasi dari hulu ke hilir.

Mengutip laman resmi Sritex, perusahaan dengan kode saham SRIL itu memproduksi beragam produk tekstil, mulai dari benang, kain mentah (greige), kain jadi (dyed dan kain cetak), hingga garmen yang terdiri dari produk fesyen dan seragam.

“Nah, tapi industrinya yang paling besar itu di industri yang bikin benang dan bikin kain. Tapi kan produksi rayon sudah tutup duluan di 2022-2023. Jadi, Sritex ini Sebetulnya jembatan hulu sama hilir. Jadi, di salah satu sisi dia mengonsumsi bahan baku besar dari dalam negeri, di sisi lain dia menyediakan bahan baku garmen untuk industri di pasar domestik,” jelas Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, saat dihubungi Tirto, Senin (3/3/2025).

Penutupan pabrik Sritex karena pailit Buruh berjalan keluar dari Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/Spt.

Dus, ketika Sritex tutup, industri hulu tekstil menjadi terganggu. Pun, permintaan akan bahan baku tekstil pun turut mengalami penurunan, seiring dengan tumbangnya produksi garmen Sritex. Perlu diketahui, kapasitas produksi benang Sritex mencapai 1.405 bale per hari, kapasitas produksi kain mentah hingga 229.766 meter per hari, serta produksi kain jadi mencapai 306.358 yard per hari. Sedangkan kapasitas produksi produk garmen yang menghasilkan pakaian jadi, termasuk pakaian fesyen dan seragam militer dapat mencapai 38.295 potong per hari.

Turunnya suplai bahan baku ke pasar domestik, praktis membuat perusahaan-perusahaan tekstil yang masih tersisa mau tak mau memenuhi kebutuhannya dari barang impor. “Jadi, secara rantai (produksi), ekosistem tekstil jadi terganggu semua,” imbuh Redma.

Di sisi lain, Sritex yang sudah mampu mengimpor produk-produknya ke lebih dari 100 negara di dunia, termasuk Swedia, Mesir, hingga Jepang, menjadi wajah industri tekstil Indonesia. Dus, tutupnya Sritex secara permanen ini praktis membuat nama Indonesia di mata investor-investor tekstil dunia tercoreng.

Sebab, kasus Sritex menjadi cerminan kegagalan pemerintah dalam mengelola industri tekstil dalam negeri. Ini jelas sangat disayangkan, mengingat sumbangan industri tekstil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar. Jika dirinci, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Sepanjang 2024 tumbuh 3,32 persen terhadap PDB sedang pakaian jadi atau produk tekstil tumbuh 4,62 persen terhadap PDB. Kemudian, industri TPT juga mampu menyerap sekitar 19,9 persen dari total tenaga kerja di 2024.

“Kalau soal PHK-PHK itu kan, mulai 2022 akhir kami juga sudah bicara, tapi pemerintahnya ini ngebantah. Ngomongnya, nanti ada investasi, untuk tekstil juga ada. Kita siapkan kerjaan lain di industri high-tech,” ujar Redma.

Memang ada investasi di sektor TPT yang masuk ke Tanah Air. Hal ini diungkap Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, melalui akun Instagram resminya.

Kata dia, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) di sektor TPT tercatat meningkat 107 persen, menjadi 903 juta dolar Amerika Serikat (AS) pada 2024. Sementara Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di sektor ini mencapai Rp7 triliun.

“Selama tahun lalu, Indonesia menjadi tujuan utama relokasi industri tekstil dan alas kaki, didorong oleh perubahan global seperti perang dagang antara AS dan China serta kejenuhan industri di Vietnam,” kata Luhut, dikutip Senin (3/3/2025).

Kondisi Industri Tekstil Sakit Parah

Namun demikian, menurut Ketua Umum APSyFi, Redma Gita Wirawasta, kondisi industri tekstil di Tanah Air lebih parah dari kebangkrutan Sritex. Pada 2024 saja, ada kurang lebih 60 perusahaan tekstil gulung tikar, dengan jumlah karyawan yang terkena gelombang PHK mencapai 13.061 orang.

Permasalahan pasar domestik yang disebabkan oleh maraknya impor ilegal adalah biang kerok anjloknya kinerja industri tekstil nasional. Menurut Redma, pemerintah pun tahu persis soal masalah ini, karena seringkali asosiasi dipanggil untuk menghadap, menceritakan sebab tutupnya puluhan pabrik tekstil hingga berakhir pada PHK massal.

“Barang-barang Cina bertebaran, tanpa bayar pajak (bea masuk). Tapi kan ini datanya nggak ada. Banyak excuse-nya dari (Ditjen) Bea dan Cukai. Nah, ini kenapa wujud kegagalan pemerintah. Jadi, kenapa Sritex bangkrut, salah satunya karena industri tekstil secara keseluruhan juga nggak bagus, Karena pasar domestik diserang habis-habisan oleh barang impor ilegal,” jelas dia.

Supaya industri tekstil tak semakin runtuh, pemerintah harus segera ambil tindakan penyelamatan. Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, menilai pemerintah harus menempuh dua jalan sekaligus untuk membangun kembali industri tekstil dalam negeri: memperbaiki iklim investasi dan menghapus atau merevisi regulasi yang justru menyuntik mati industri tekstil.

“Jadi, dilakukan upaya reformasi regulasi terkait industri padat karya. Regulasi-regulasi yang memperlemah industri padat karya harus dicabut atau diperbaiki. Contohnya regulasi terkait kebebasan atau kemudahan impor barang jadi, Importasi finish product itu harus dikontrol dengan baik. Supaya industri kita bisa berjalan dengan baik, karena kita kan memproduksi barang jadi,” jelas dia, saat dihubungi Tirto, Senin (3/3/2025).

Pada saat yang sama, penegakan hukum terhadap importasi produk-produk jadi secara ilegal serta peningkatan pengawasan terhadap impor barang jadi secara legal juga kudu ditingkatkan. Danang pun menyayangkan regulasi terkait pembebasan atau pemberian kemudahan terhadap importasi produk jadi yang justri menjadi injeksi mati bagi industri tekstil dalam negeri.

“Nah, itu yang harus diperbaiki,” imbuh dia.

Selain itu, barangkali Indonesia bisa memanfaatkan momentum presidensi AFTEX (ASEAN Federation of TEXTILE Industries) untuk menumbuhkan kinerja industri tekstil domestik. Perlu diketahui, AFTEX merupakan federasi yang membangun kerjasama dan kolaborasi diantara negara negara ASEAN yang mendukung pengembangan industri tekstil bersama sama.

Melalui presidensi yang akan berlangsung selama dua tahun ke depan ini, Indonesia diharapkan dapat berkolaborasi dengan negara-negara anggota AFTEX lainnya untuk meningkatkan produktivitas industri tekstil dan garmen masing-masing. Apalagi, saat ini kondisi industri tekstil negara-negara AFTEX dalam kondisi serupa, dihantam gempuran impor ilegal.

“Selain itu, juga bersama-sama melawan kebijakan importasi yang berlebihan kepada dalam negeri masing-masing negara. Ini kan peluang bagus, dan Indonesia memiliki sebuah kesempatan mempertahankan industri padat karya kita dengan kepemimpinannya di AFTEX ini,” sambung Danang.

PHK buruh dan karyawan PT. SritexBuruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mencatat 10.965 buruh dan karyawan di empat perusahaan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT. Sritex Tbk setelah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melihat kejatuhan Sritex sebagai kalahnya daya saing produk dalam negeri dengan barang-barang tekstil impor, khususnya dari Cina. Sejak 2023, jumlah impor pakaian jadi dari Cina ke Indonesia meningkat drastis, mengakibatkan kelebihan pasokan di pasar domestik. Data menunjukkan bahwa pada kuartal I 2024, terjadi selisih sekitar 560,5 juta dolar AS antara data ekspor garmen Cina ke Indonesia dan data impor resmi Indonesia dari Cina.

“Hal ini mengindikasikan masuknya produk tekstil secara ilegal dalam jumlah besar, yang menyebabkan produsen lokal seperti Sritex kehilangan daya saing,” kata dia, Senin (3/3/2025).

Kebijakan pemerintah yang kurang melindungi industri tekstil semakin memperburuk keadaan. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang seharusnya dirancang untuk mempercepat impor bahan baku, justru memperlancar masuknya tekstil impor murah ke Indonesia.

Dengan lemahnya pengawasan, kebijakan tersebut mempercepat kehancuran industri tekstil nasional. “Kasus Sritex bukan sekadar kegagalan satu perusahaan, tetapi merupakan gejala dari permasalahan struktural yang lebih besar dalam industri tekstil nasional,” tambah Achmad.

Pada gilirannya, Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, mengatakan, pihaknya masih terus berkoordinasi dengan Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait, mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan dan Kementerian Perindustrian untuk merevisi Permendag 8/2024 yang diduga merupakan sebab utama kian maraknya impor produk jadi. Seiring dengan ramainya PHK di industri TPT, pembahasan revisi aturan pun tengah difokuskan pada sektor tersebut.

“Jadi, kita masih rapat-rapat, (mengumpulkan) masukan K/L teknis. Jadi tidak hanya Kemendag yang memutuskan ini, nggak. Kita pasti dipercepat (proses revisi). Maksud saya begini, prosesnya itu karena harus melibatkan banyak K/L, ya kita butuh waktu. Tapi kita siap mempercepat, semua dievaluasi,” jelas Budi, saat ditemui awak media usai Rapat Kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2025).


tirto.id - News

Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |